Thursday, December 17, 2009

Zakharia dan Elizabet



Masa advent 2009 memberi satu hal penting yang dapat mengukuhkan iman kepada Tuhan Allah yang disembah oleh Abraham, Ishak dan Yakub. Hal itu berkenaan dengan kisah kelahiran Yohanes Pembaptis (John the Baptist).


Hal yang menarik perhatian saya adalah iman Zakharia dan Elisabet, orangtua Yohanes Pembaptis. Kemungkinan besar topik ini jarang tampil di mimbar-mimbar gereja pada kebaktian minggu advent yang kita hadiri.


Kitab Lukas pasal pertama mencatat kisah kelahiran Yohanes Pembaptis cukup lengkap. Di sana ada tertulis:”Pada zaman Herodes, raja Yudea, adalah seorang imam yang bernama Zakharia dari rombongan Abia. Isterinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet. Keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat. Tetapi mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut umurnya.”


Keluarga Zakharia adalah keluarga yang takut akan Tuhan Allah. Kesimpulan ini diperoleh karena Zakharia adalah seorang imam yang isterinya juga keturunan Harun. Hal ini berarti Elisabet sejak kecil telah memahami dan hidup dalam lingkungan imam, lalu yang paling penting, mereka berdua adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat.


Keluarga Zakharia sebagaimana keluarga lainnya mengharapkan kehadiran anak yang akan menyemarakkan suasana hidup keluarga tersebut. Sejak tahun pertama pernikahan mereka hingga tahun-tahun berikutnya hingga lanjut umurnya, anak yang dinantikan tidak kunjung datang. Lanjut umur dalam tulisan Lukas dapat diartikan lebih dari dari 50 tahun. Apabila mereka menikah pada umur 25 tahun, untuk mudahnya, maka setidaknya sudah 30 sampai 35 tahun mereka menantikan hadirnya seorang anak.


Menanti kehadiran anak dalam jangka waktu sedemikian lama membuka banyak kemungkinan yang dapat melemahkan ataupun menguatkan iman mereka kepada Tuhan Allah. Pilihan sepenuhnya ada di tangan mereka. Apakah meninggalkan pengharapan kepada Tuhan Allah lalu berpaling ke hal lain yang lebih menjanjikan ataukah tetap setia berharap kepada Tuhan Allah dengan kesabaran luar biasa.


Pengaruh keluarga, tetangga, serta orang-orang yang berinteraksi dalam hidup mereka sehari-hari terasa begitu kuat. Sebagian tentunya mendorong agar tetap berharap dan setia kepada Tuhan Allah. Namun, tidak sedikit juga yang akan menyarankan sebaliknya dengan sejumlah alasan yang sangat masuk akal, sangat manusiawi dan sangat-sangat lainnya.


Di tengah tarik-menarik kekuatan untuk menguatkan atau melemahkan iman mereka, mereka berpikir dan bertanya manakah yang harus dipilih? Untuk sampai pada penulisan kalimat Lukas “Keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat” adalah penuh pergumulan bukan datang begitu saja. Jika boleh dibayangkan, mereka juga tidak luput dari kesalahan dan dosa saat menjalani pilihan tetap percaya kepada Tuhan walau belum dikaruniai seorang anak.


Pergumulan Zakharia dan Elisabeth, akan lebih menarik bila dibawa pada konteks masa kini. Dimana ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sudah berkembang pesat mempengaruhi cara hidup masyarakat modern termasuk dalam menyikapi berbagai masalah kehidupan yang dijumpai setiap manusia.


Hidup menurut perintah dan ketetapan Tuhan adakah akan memberikan manfaat? Ataukah hidup menurut pemikiran dan rancangan kita sebagai manusia yang berpendidikan, ditopang IPTEK serta berbagai afiliasi kelompok masyarakat akan lebih kelihatan dan terasa manfaatnya?


Zakharia dan Elisabeth, menurut saya, tidak pernah membayangkan atau merencanakan menjalani hidup keluarga tanpa kehadiran anak bertahun-tahun hingga lebih dari 30 tahun. Mereka juga tidak memahami sepenuhnya apakah maksud Tuhan Allah dengan tidak dihadirkannya anak dalam keluarga mereka MESKIPUN, menurut saya, mereka sudah dan terus berdoa, meminta, bahkan berpuasa, agar dikaruniai anak. Hal menarik di sini adalah apakah mereka BERHENTI berharap dan meminta kepada Tuhan Allah? Jawabannya adalah TIDAK.


Apabila saat ini kita sedang menapaki jalan kehidupan serupa dengan Zakharia dan Elisabet, bukan hanya sedang mengharap kehadiran seorang anak, namun mengharap karunia Tuhan Allah dalam menjawab permohonan doa kita maka belajar dari kedua orang ini, Zakharia dan Elisabet akan menguatkan iman kita kepada Tuhan Allah.


Kita tidak akan pernah mengetahui maksud Tuhan Allah dalam kehidupan kita sampai pada akhir tujuan rencana itu digenapi. Demikian juga pasangan Zakharia dan Elisabet, yang tidak memahami maksud Tuhan Allah dengan harus menunggu bertahun-tahun untuk mempunyai seorang anak. Tuhan Allah menggunakan pasangan ini dalam rencana besarnya untuk keselamatan manusia melalui Yesus Kristus, di mana Yohanes Pembaptis adalah pembuka jalan kehadiran sang mesias, juruselamat. Meski kita tidak memahami maksud Tuhan Allah dalam hidup yang kita jalani tetapi satu hal yang pasti kita ketahui bahwa maksud Tuhan Allah adalah baik dan untuk kesejahteraan kita (Yeremia 29:11)


Tetap setia untuk hidup sesuai perintah dan ketetapan Tuhan Allah merupakan kunci memahami apakah sejatinya maksud Tuhan Allah dalam hidup kita. Memang benar kita akan dianggap manusia bodoh karena tetap berharap untuk hal yang seakan sia-sia, mustahil dan membuang waktu. Namun, sebagaimana Daud dalam Mazmur 42 menyatakan “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” Kiranya kita tetap setia berharap pada Tuhan Allah untuk setiap pergumulan hidup kita.


tabik,

yak