Sunday, January 18, 2009

HARGA NAIK - HARGA TURUN

“Apa yang sudah naik tidak bisa lagi turun” sudah menjadi slogan ampuh bagi banyak pengusaha di Indonesia hari-hari terakhir ini menyusul pengumuman penurunan BBM oleh pemerintahan SBY hingga tiga kali berturut-turut yaitu 01 dan 15 Desember 2008, kemudian 15 Januari 2009. Bagi para pengusaha yang berorientasi profit maka sesuatu yang wajar bila mendapat margin lebih besar dengan penurunan BBM tersebut. Namun meletakkan permasalahan ini dalam konteks lebih luas maka perlu adanya respon sejajar dan bernuansa adil (fair) terhadap penurunan BBM tersebut.

Dalam ilmu ekonomi, harga di pasar ditentukan oleh kekuatan pasokan (supply) serta kekuatan permintaan (demand). Bila kekuatan pasokan lebih besar dari kekuatan permintaan maka harga akan turun demikian sebaliknya. Untuk setiap satuan pasokan memiliki sejumlah permintaan yang membentuk sejumlah harga tertentu, yang memungkinkan terjadinya transaksi pertukaran barang dan jasa dengan uang. Mekanisme ini bisa terjadi dalam pasar persaingan sempurna yaitu semua pelaku dalam pasar memiliki akses informasi yang sama. Di kehidupan sehari-hari keadaan tersebut, bisa dibilang amat jarang terjadi kalau tidak boleh dibilang mustahil terjadi.

Kepemilikan informasi yang tidak seimbang dan merata kemudian ditambah sejumlah faktor lainnya seperti: politik, strategi perusahaan, kondisi keuangan perusahaan atau persaingan dalam industri membuat terjadinya anomali pada interaksi kekuatan pasokan dan kekuatan permintaan untuk membentuk harga sesuai penjelasan di atas.

Meski demikian nuansa adil (fair) perlu tetap dipertimbangkan dalam konteks luas yaitu kemaslahatan orang banyak. Saat harga BBM naik maka serta merta tanpa perlu adanya surat keputusan pihak berwenang atau waktu jeda untuk menghitung efek membengkaknya ongkos produksi, para pengusaha menggunakan momen tersebut untuk menaikan harga jual barang dan jasa mereka. Tindakan yang cerdik jika dipandang bahwa menaikkan harga karena alasan inflasi tahunan sering sulit diterima konsumen dan pasar, tetapi dengan momen itu maka mau tidak mau kenaikan harga akan diterima.

Di Indonesia istilah ekonomi biaya tinggi muncul karena adanya berbagai ongkos di luar komponen produksi normal, sehingga sering pengusaha menyebut hal ini saat menaikkan harganya dan tidak mau menurunkan serta merta mengikuti hukum permintaan – pasokan seperti dalam ilmu ekonomi. Namun sekali lagi jika dengan berpegang pada prinsip adil (fair) maka hal ini bukanlah sesuatu yang mutlak dalam artian dengan menurunkan harga seiring dengan naiknya besaran margin keuntungan tidak membuat para pengusaha menjadi rugi. Hal ini dapat diyakini karena para pengusaha adalah kelompok yang paling pandai berhitung untuk dapat bertahan (survive) pada kondisi yang minimalis sekalipun dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada.

Harga-harga komoditi berbagai hasil alam Indonesia selalu berfluktuasi mengikuti perkembangan pasar internasional. Sebagai kesatuan ekonomi (economy entity) yang tidak lepas dari sistem ekonomi dunia sudah seharusnya ekonomi Indonesia menjadi cermin dinamika perekonomian global. Apabila hal tersebut tidak terjadi maka cepat atau lambat maka ekonomi Indonesia akan mengalami dampak kontraksi mengagetkan (shocking contraction) dalam upaya penyesuaian terhadap irama dinamika perekonomia global yang melanda semua negara dan tidak bisa dibendung oleh siapapun. Konsekuensi dan harga yang harus dibayar akibat kontraksi ekonomi yang mengejutkan tersebut terlalu mahal dan beresiko tinggi bahkan lebih besar dari krisis 1998 pasca lengsernya rejim Suharto. Oleh karena itu dalam suasana mood ekonomi sedang berayun turun maka adalah tidak bijak bersikukuh untuk tidak ingin menurunkan harga sebab hukum alam jangan dilawan tetapi perlu dipahami untuk dapat dimanfaatkan demi kemaslahatan umat manusia.

Apa yang sudah naik, masih bisa turun dalam batas kewajaran dan berprinsip pada keadilan (fairness) demi kemaslahatan bersama.

tabik,
yak

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home