Friday, October 15, 2010

Perubahan budaya masyarakat perkotaan

Budaya merupakan produk masyarakat yang tertenun secara akumulatif dari berbagai faktor kehidupan keseharian yang berinteraksi dengan dinamis. Budaya digunakan dalam hidup keseharian orang-orang dalam suatu masyarakat. Hal tersebut dapat menjadi salah satu pemahaman terhadap makna budaya.

Di satu pagi saat berkendara menyusuri jalanan di bagian selatan Jakarta, sebuah stasiun radio menyiarkan obrolan dua penyiar tentang kenakalan masa lalu terkait hubungan muda-mudi di perkotaan. Para penyiar tersebut setuju bahwa adalah bohong bila para muda mudi sekitar sepuluh atau lima belas tahun lalu apabila tidak melakukan kenakalan yang relatif permisif terhadap seks. Mereka undang para pendengar untuk berbagi pengalaman kenakalan masa lalu semacam itu seraya mengaitkannya untuk berharap agar jangan sampai anak-anak mereka mengikuti jejak para orang tuanya.

Pepatah lama guru kencing berdiri, murid kencing berlari agaknya sesuai untuk menggambarkan kekhawatiran para pendengar yang menanggapi topik tersebut. Mayoritas pendengar yang sudah memiliki anak baik laki-laki maupun perempuan, tidak ingin kenakalan masa lalu yang pernah dilakukan akan kembali dilakukan para buah hati mereka di kemudian hari. Harapan ini diliputi rasa pesimis karena menyadari budaya jaman sekarang lebih mendukung terjadinya kenakalan masa lalu tersebut dengan variasi model yang lebih beragam, frekuensi lebih intens dan berskala lebih besar. Jika kenakalan masa lalu para orang tua tersebut ibarat guru kencing berdiri maka dikhawatirkan kenakalan muda mudi yang akan dilakukan para anak mereka ibarat murid kencing berlari.

Perubahan budaya masyarakat perkotaan di Indonesia yang kini dipandang cenderung liar tidak ada kendali menyebabkan kebiasaan atau perilaku konvensional masyarakat sepuluh atau dua puluh tahun lalu menjadi punah perlahan. Perilaku memberikan duduk pada orang tua, ibu hamil, ibu dengan anak kecil atau orang cacat dalam suatu transportasi publik menjadi pemandangan langka di masa kini. Hal ini menjadi sebuah contoh pudarnya budaya tenggang rasa terhadap sesama yang membutuhkan. Berbagai alasan dapat dimunculkan untuk membela atau berargumentasi perilaku yang dicontohkan di atas, namun tidak membantahkan adanya perubahan budaya.

Contoh lain adalah perilaku muda mudi terkait seks yang sudah disurvey lalu dipublikasikan hasilnya oleh beberapa lembaga non pemerintah di beberapa tempat di Indonesia bahwa hubungan seks pra nikah antara muda mudi di tahun-tahun belakangan ini cenderung meningkat prosentasenya. Budaya tabu berhubungan seks sebelum nikah menjadi usang dan cenderung punah. Berbagai alasan dapat dimunculkan untuk membela atau berargumentasi perilaku yang dicontohkan di atas, namun tidak membantahkan adanya perubahan budaya.

Belum lagi contoh perilaku masyarakat perkotaan di Indonesia saat berkendaraan di jalan raya yang egois dengan sangat jarang memberi kesempatan pengguna jalan lain untuk berlalu ataupun tidak patuh terhadap rambu lalu lintas demi tercapainya tujuan sendiri dalam berkendara. Perilaku berkendara semacam ini menjadi kontributor penting bagi masalah kemacetan berbagai kota di Indonesia.

Sejumlah kalangan dengan berbagai latar belakang yang peduli terhadap perubahan budaya di masyarakat perkotaan semacam itu melakukan sejumlah kegiatan antisipatif. Mereka memiliki tujuan agar hal-hal negatif tidak makin meruyak dalam kehidupan keseharian masyarakat perkotaan di Indonesia. Sejauh ini apa yang dilakukan belum bisa membendung laju perubahan budaya yang menghasilkan contoh-contoh sejenis dipaparkan di atas. Sejumlah alasan, kembali dapat dimunculkan untuk berargumentasi mengapa berbagai tindakan yang dilakukan belum berhasil mencapai tujuan, namun tidak membantahkan bahwa perilaku masyarakat perkotaan di Indonesia semakin menyerupai masyarakat perkotaan di negara-negara Barat.

Masyarakat perkotaan di Indonesia cenderung menjadi bagian budaya global masyarakat perkotaan dunia. Hal ini menjadi sesuatu yang tidak tertahankan lagi. Sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, segala perilaku masyarakat perkotaan di Jakarta misalnya sudah tidak berbeda dengan masyarakat di London atau di Boston. Namun disayangkan jika hal-hal baik dalam perilaku yang hidup dalam masyarakat perkotaan di Indonesia menjadi punah diganti dengan hal-hal buruk. Memperhatikan perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini di masyarakat perkotaan di Indonesia maka prediksi perilaku masyarakat perkotaan di negara-negara Barat akan terwujud berikut dengan efek negatifnya.

Perilaku masyarakat perkotaan bercirikan nilai-nilai budayaTimur yang mayoritas lebih bersifat komunal akan berganti dengan ciri nilai-nilai budaya Barat yang mayoritas lebih bersifat individual. Akan banyak teori dan argumen mengenai hal ini, namun tidak membantahkan bahwa kecenderungan yang terjadi di berbagai aspek kehidupan masyarakat perkotaan di Indonesia adalah menipisnya nafas komunalitas dan menebalnya nafas individualis.

Perubahan budaya diyakini mengikuti hukum keseimbangan yang sudah ada seiring lahirnya peradaban manusia di dunia. Kecenderungan perubahan budaya masyarakat perkotaan di Indonesia dari bersifat komunal menuju individual akan mencapai titik keseimbangan di satu waktu untuk kemudian akan bergerak kembali ke arah sebaliknya. Pertanyaan besarnya adalah kapan waktu keseimbangan itu terjadi?

Pelambatan laju pertambahan penduduk sehingga populasi penduduk Indonesia tidak meledak yang menyebabkan berbagai masalah ikutan semacam penumpukan penduduk di perkotaan dengan makin terbatasnya berbagai fasilitas pendukungnya, penguatan nilai-nilai keagamaan bagi masyarakat perkotaan dengan pendekatan bersifat kontekstual sebagai sumber nilai budaya bersifat positif, serta keteladanan para pemimpin formal maupun non formal sebagai sumber ketertiban sipil di berbagai aspek kehidupan masyarakat perkotaan menjadi harapan untuk tercapainya keseimbangan perubahan budaya masyarakat perkotaan di Indonesia.

tabik,
yak

Wednesday, June 02, 2010

MENJADI SATU

BJ Habibie tiba di Jerman pada Rabu, 24 Maret 2010. Ia ikut mengantar langsung Hasri Ainun Besari Habibie, istri terkasihnya ke rumah sakit Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Gro'hadern, Munchen, Jerman. Dan sejak saat itu hingga Ainun meninggal pada Sabtu, 22 Mei 2010 dengan sambil terus mengelus kepala istri tercinta pada saat-saat terakhir, tidak pernah sekali pun Habibie meninggalkan istrinya. Menikah di hari Sabtu, 12 Mei 1962 dan berpisah karena kematian juga di hari Sabtu, 22 Mei 2010 telah membentangkan waktu 48 tahun lamanya kehidupan kesatuan pasangan BJ Habibie dan Hasri Ainun Besari Habibie.

Sepenggal kisah anak manusia di atas membawa pemikiran kepada hubungan pria dan wanita yang diikatkan dalam lembaga pernikahan. Kehidupan perkawinan BJ Habibie dan Hasri Ainun dapat juga dialami setiap pasangan anak manusia dengan menerapkan prinsip-prinsip benar hidup rumah tangga yang dinaungi oleh lembaga pernikahan.

Salah satu prinsip benar hidup rumah tangga yang dinaungi oleh lembaga pernikahan adalah prinsip kesatuan. Dua pribadi yang berbeda banyak hal, disatukan dalam ikatan pernikahan untuk membentuk rumah tangga baru. Dua orang yang berlainan jenis kelamin dipersatukan untuk menurunkan generasi lebih baik. Dua menjadi satu, demikianlah esensi pernikahan anak manusia di dunia ini.

Sebagaimana tertulis di Markus 10 : 6 - 9 dan sering dikutip saat pemberkatan pernikahan di gereja oleh pendeta : “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Pertanyaan yang dapat tampil dari kutipan alkitab di atas adalah : ”Apakah menjadi satu itu?”

Pemahaman menjadi satu bisa mencakup spektrum arti yang luas hingga ke semua aspek kehidupan manusia. Sejumlah pertanyaan yang sering muncul dalam benak kebanyakan orang, seperti berikut ini: ”Jika menjadi satu, apakah pribadi-pribadi berbeda sebelum pernikahan akan lenyap dan menjadi satu pribadi?”, ”Menjadi satu dalam hal apa saja?”, ”Untuk apa menjadi satu?” dan ada juga pertanyaan skeptikal: “Dapatkah menjadi satu?” Semua pertanyaan itu menuntut jawaban dan jawaban tersebut bergantung pada keinginan penanya mendapatkan kedalaman serta keluasan jawaban sehingga bisa sederhana namun bisa juga kompleks.

Menjadi satu adalah seperti pengertian seimbang yang tidak harus diartikan separuh-separuh. Ada konteks dalam mengerti dan menerapkan pemahaman menjadi satu. Iman kristen, mempercayai prinsip menjadi satu bermula dari bersatunya Adam dan Hawa di Kejadian 2 : 22 - 24 sebagai berikut:” Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Dalam alkitab bahasa Inggris King James Version (KJV) di Kejadian 2 ayat 23, digunakan kata ”cleave” pada kalimat ”...shall cleave unto his wife:” Pengertian “cleave” disebutkan dalam kamus Merriam-Webster adalah “: to adhere firmly and closely or loyally and unwaveringly” diterjemahkan :”melekat/menempel dengan kuat, dengan dekat, dengan setia dan dengan kokoh.” Dapat dibayangkan bahwa untuk menghasilkan situasi dan kondisi yang menempel/melekat begitu kuat, begitu setia dan begitu kokoh (cleave) sehingga sering disebut menyatu (united) diperlukan sesuatu atau bahan antara dua benda atau dalam hal ini manusia yang menyebabkan menjadi melekat bahkan menyatu.

Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus pasal 5 ayat 22 dan 25, menyebutkan sesuatu atau bahan yang menyebabkan penyatuan antara suami dan isteri dalam perspektif iman kristen yaitu sikap tunduk pada suami (submission to husband) dan sikap menyerahkan diri pada isteri (gave himself to wife). Sikap tunduk yang dibalas dengan sikap menyerahkan diri merupakan bahan pelekat atau penyatu yang kuat, setia, dan kokoh antara suami dan isteri sebagaimana diwujudkan melalui kata ”cleave” dalam KJV Genesis 2 : 23.

Memilih sikap menyerahkan diri atau sikap tunduk adalah bagian dari kehendak bebas manusia seperti memilih bertindak dosa atau tidak. Sesudah memilih untuk bersikap menyerahkan diri atau bersikap tunduk maka hal selanjutnya adalah kemampuan untuk mewujudkannya dalam tindakan nyata. Hal itu memerlukan inspirasi dan pertolongan Tuhan Allah pencipta kita yang diimani melalui Yesus Kristus. Adalah tidak mudah melaksanakan sikap-sikap yang ditulis Rasul Paulus dalam surat Efesus pasal 5 : 22 dan 25 di atas. Namun sekali lagi hal tersebut bukan mustahil dan selalu ada pertolongan Tuhan bagi setiap pasangan suami isteri yang berkehendak melakukannya.

Menjadi satu adalah pergumulan hidup yang terus menerus diakrabi hingga akhir hayat oleh setiap pasangan dalam pernikahannya. Bersyukurlah untuk pasangan yang dikaruniakan Tuhan bagi kita masing-masing. Saya percaya Baharuddin Jusuf Habibie dan Hasri Ainun Besari Habibie juga setuju bahwa sikap tunduk kepada suami yang dibalas dengan sikap menyerahkan diri kepada isteri menjadi bahan pelekat dan penyatu pernikahan mereka hingga maut memisahkan di senja hari Sabtu, 22 Mei 2010, pukul 17.30 waktu Munchen.

Tabik,
yak

Tuesday, May 18, 2010

Antara menulis dan memasak

Menulis itu seperti memasak. Dua kegiatan yang memiliki banyak persamaan dan sangat dekat dengan kehidupan manusia. Memahami kegiatan menulis akan lebih mudah bila disejajarkan dengan kegiatan memasak.

Penulis diibaratkan jurumasak yang meramu bumbu dan mengolah berbagai bahan sehingga terhidang makanan lezat siap santap. Keahlian jurumasak tidaklah datang serta merta tetapi melalui banyak praktek memasak sehingga akhirnya menguasai seni memasak. Hal sama juga berlaku pada seorang penulis yang harus banyak berlatih menulis berbagai topik dengan berbekal kata untuk merangkai kalimat sehingga dapat menyusun tulisan yang dinikmati banyak orang.

Setiap masakan memiliki penggemar sendiri demikian juga tulisan. Penulis novel seperti Sidney Sheldon, John Grisham, atau Paulo Coelho memiliki sidang pembaca masing-masing yang mengenal betul gaya penuturan tulisan mereka. Para penulis seakan meramu makanan untuk berbagai kelompok pembaca dengan kebutuhannya masing-masing. Tulisan menjadi makanan rohani pembacanya, sehingga rasa haus dan lapar akan gagasan, semangat, emosi, pencerahan pikiran atau rasa ingin tahu misalnya akan terpenuhi bahkan kadang sampai puas.

Masakan adalah makanan jasmani bagi penikmatnya yang menyehatkan, menyegarkan dan mengenyangkan bahkan sering sampai memuaskan saraf-saraf pencecap di otak. Kerenyahan keripik tempe umpamanya akan begitu terpatri dalam benak penggemarnya, sedangkan keharuman opor ayam akan bersarang dalam-dalam di hidung penikmatnya. Hal sama berlaku bagi para pembaca tulisan terhadap gelaran kata tulisan Gus Dur yang jenaka atau tatanan kalimat Gunawan Mohamad yang membuat kening berkerut berusaha menangkap maknanya.

Selera penggemar sebuah tulisan tidak bisa dipertentangkan satu dengan yang lain namun sebagaimana penikmat masakan yang memiliki beragam selera, mereka bersepakat bahwa masakan yang enak ataupun tulisan yang baik memiliki standar. Mengacu pada standar itulah maka tidak sembarang jurumasak atau penulis mengolah masakan atau tulisan untuk disajikan kepada para penggemarnya.

Standar masakan disusun oleh komunitas jurumasak yang sudah diakui luas kompetensinya di masyarakat. Hal ini bisa disaling periksa misalnya lewat kompetisi memasak atau dapur-dapur resto publik sehingga kualitas berjenis masakan tetap memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi para penikmatnya. Hal serupa juga berlaku pada tulisan, dengan adanya komunitas penulis ilmiah yang memiliki standar tersendiri menjaga kualitas tulisan ilmiah, atau komunitas penulis populer, komunitas jurnalis dan masih banyak lagi komunitas penulis-penulis yang menjadi pengendali tulisan agar bernilaiguna bagi para pembacanya.

Faktor budaya juga menjadi pengaruh besar terhadap tulisan yang dihasilkan sebagaimana masakan yang sudah lebih mudah dibedakan dari asal kultur masakan itu seperti Chinese food, Italian food atau Japanese food. Tulisan yang berasal dari latar budaya barat akan terasa berbeda dengan tulisan yang dibuat oleh penulis berlatar budaya timur. Hal ini disebabkan nilai-nilai yang dianut penulis yang hidup di masyarakat barat memang berbeda dengan di timur dan ini nampak nyata dalam tulisan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk dengan buah karya DH Lawrence yaitu Lady Chatterley’s Lover.

Para kritikus tulisan sudah jamak di dunia literatur sebagaimana para connoisseur dalam dunia makanan minuman. Mereka diperlukan agar para pembaca atau penikmat masakan dapat memilih serta memutuskan tulisan atau masakan mana yang akan dinikmati. Di Indonesia, ada Bondan Winarno yang sangat populer dengan slogan Mak Nyuss untuk masakan yang lezat melalui acara di salah satu stasiun televisi nasional maka kira-kiranya untuk tulisan, siapakah orang yang mengambil peran serupa sehingga semakin banyak pembaca Indonesia memahami tulisan serta dapat memilih maupun memutuskan hendak membaca tulisan yang sesuai kebutuhannya. Nampaknya masih ada tempat bagi ”Bondan Winarno” di dunia literatur Indonesia yang menyajikan ulasan terhadap berbagai tulisan dengan gaya ramah pengguna (friendly user) apalagi ditayangkan di televisi.


Tabik,
yak

Saturday, May 01, 2010

Kesepuluh orang kusta

Sepuluh orang kusta yang berada di desa perbatasan Galilea dan Samaria, suatu hari bertemu Yesus lalu berteriak meminta belas kasihan. Menanggapi permintaan tersebut maka Yesus memerintahkan mereka pergi menunjukkan diri kepada para imam agar dilihat apakah sudah tahir dari kusta. Dalam perjalanan kesepuluh orang kusta tersebut ternyata tubuh mereka menjadi tahir. Hanya seorang dari mereka yang kembali kepada Yesus untuk bersyukur atas kesembuhannya. Ia adalah seorang Samaria.

Lukas adalah satu-satunya penulis injil yang memuat kisah tersebut dalam pasalnya yang ke-17 dengan tidak menjabarkan apa yang terjadi sepanjang perjalanan kesepuluh orang kusta itu saat hendak bertemu para imam. Tidak juga mencatat jawaban atas pertanyaan Yesus tentang keberadaan kesembilan orang yang disembuhkan dari kusta itu. Hal-hal tersebut menarik untuk dijelajahi dan dipaparkan berikut ini.

Orang sakit kusta pada masa itu tidak mempunyai harapan untuk sembuh. Mereka dikumpulkan di satu tempat sehingga tidak menularkan orang lain. Apabila mereka berpapasan dengan orang sehat maka sudah wajib hukumnya mereka berteriak: "Najis,... Najis" berulang kali untuk menandakan bahwa mereka patut dijauhi. Mereka hanya menunggu ajal menjemput dengan sakit kusta yang melekat di tubuhnya. Kusta sudah menjadi vonis mati sosial bagi mereka karena tidak ada orang yang diperbolehkan berinteraksi dengan mereka lagipula status sosial mereka turun drastis ke tempat paling rendah. Dalam kondisi demikianlah kesepuluh orang kusta di perbatasan Galilea dan Samaria berjumpa dengan Yesus.

Saat kesepuluh orang kusta melihat rombongan Yesus melintas tempat mereka, tentunya mereka akan berteriak:"Najis,...Najis" berulang kali sebagaimana biasa mereka lakukan saat berpapasan dengan orang sehat. Namun, ketika mereka mengetahui bahwa orang-orang yang berpapasan dengan mereka adalah rombongan Yesus dari Nazaret maka teriakan mereka berubah. Mereka berteriak:" Yesus, tuan kasihanilah kami." Hal ini menggambarkan bahwa mereka sudah mendengar bahwa Yesus adalah seorang rabbi yang berkuasa melakukan hal-hal ajaib sebagaimana telah terjadi di berbagai tempat di Israel saat itu. Faktor inilah yang mendorong mereka meminta belas kasihan Yesus untuk menyembuhkan mereka.

Sekelompok orang yang sudah lama tidak memiliki harapan untuk pulih dari sakit kusta, pada hari itu berpapasan dengan seorang yang mampu memberi sekaligus memenuhi harapan tersebut. Dalam pertemuan itulah sekelompok orang sakit kusta ini berharap kepada Yesus. Langkah pertama proses pentahiran sakit kusta kesepuluh orang itu dimulai dari berharap. Daud dalam salah satu mazmurnya pernah berujar:"Mengapa engkau tertekan hai jiwaku dan gelisah dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi." Seperti Daud mengajak jiwanya berharap kepada Allah, maka sekelompok orang sakit kusta itu menurutinya. Mereka berharap kepada orang yang tepat yaitu Yesus yang adalah Allah sendiri.

Bagi kebanyakan kita tindakan berharap sepintas mudah dilakukan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kita dapat mengkonfirmasi bahwa hal tersebut tidaklah mudah. Berharap memerlukan keyakinan dan kesungguhan hati serta pikiran untuk mempercayakan sesuatu dari diri kita kepada pihak lain. Berharap memerlukan konsistensi bahwa sekali berharap maka terus tetap berharap bukannya muncul tenggelam yang mencerminkan keraguan kita terhadap siapa kita berharap dan manfaat berharap itu sendiri.

Langkah kedua proses pentahiran kesepuluh orang kusta ini adalah menuruti perintah Yesus. Mereka tidak membantah saat Yesus memerintahkan mereka untuk pergi menemui para imam. Pada masa itu ketahiran seseorang dari sakit kusta tidak ditentukan oleh tabib tetapi oleh imam. Hal ini menunjukkan vonis sosial perlu dicabut dan tidak sekedar pulihnya tubuh seseorang dari sakit kusta. Imam mempunyai kuasa mencabut vonis sosial orang sakit kusta. Proses pentahiran dalam tahap ini tidaklah mudah juga. Kemungkinan besar mereka berpikir dan berharap Yesus akan menjamah atau berkata:"Sembuhlah kalian." Pergumulan antara hal yang diharapkan dengan yang terjadi menentukan tahap berikutnya. Meskipun tidak seperti yang diharapkan mereka, namun mereka memilih tetap mematuhi perintah Yesus.

Apakah penyakit kusta mereka sembuh saat mereka berangkat menemui para imam? Ternyata tidak. Proses pentahiran mereka terjadi dalam perjalanan menemui para imam. Hal ini memperlihatkan bahwa kuasa Allah mulai bekerja saat mereka mematuhi perintah Yesus.

Langkah ketiga proses pentahiran sekelompok orang sakit kusta ini adalah menempatkan prioritas hidup. Begitu menyadari bahwa dirinya pulih dari sakit kusta dipastikan terjadi perbincangan di antara mereka dalam perjalanan itu. Mula-mula mereka akan terkejut dan gembira karena sudah tahir dari kusta. Selanjutnya ada perdebatan apakah mereka melanjutkan perjalanan menemui para imam atau kembali kepada Yesus. Dapat dibayangkan masing-masing pihak mengajukan argumen-argumen yang menyakinkan untuk menguatkan pilihan tindakan mereka.

Tindakan untuk tetap pergi menemui para imam mempunyai argumen kuat yaitu mematuhi perintah Yesus. Tugas harus diselesaikan walau apapun yang terjadi, demikian kira-kira pendapat pihak ini. Sedangkan tindakan kembali kepada Yesus juga memiliki argumen yang tidak kalah kuat yaitu bersyukur kepada sang penyembuh karena bila tidak karena dia maka tidak ada kesembuhan.

Menurut Lukas 17, kesembilan orang sakit kusta yang memilih tetap menemui para imam adalah orang Israel. Sedangkan seorang yang memilih kembali kepada Yesus adalah orang Samaria. Para imam memiliki kedudukan terhormat bagi orang Israel sehingga patut didengar dan dipatuhi. Sedangkan meski dianggap orang kafir karena berdarah campuran, orang Samaria masih menghargai para imam. Dapat dipahami apabila kesembilan orang Israel tersebut tetap pergi menemui para imam untuk mendapatkan kembali status sosial mereka. Sedangkan bagi orang Samaria menemui para imam tidak akan meningkatkan status sosial mereka yang lebih rendah dibanding orang Israel. Pertanyaan Yesus tentang kesembilan orang sakit kusta yang disembuhkan sudah terjawab. Mereka berada bersama para imam untuk memastikan ketahiran mereka dan mendapatkan kembali status sosialnya.

Dalam perspektif demikian maka kesembilan orang Israel memilih untuk memprioritaskan menemui para imam agar status sosial mereka pulih seperti sediakala. Sedangkan orang Samaria memilih untuk memprioritaskan menemui Yesus dan bersyukur atas kesembuhannya. Prioritas hidup hendaknya diletakkan pada Yesus bukan yang lain.

Kesembuhan kesembilan orang Israel yang sakit kusta hanya kesembuhan jasmani sedangkan kesembuhan orang Samaria dalam Lukas 17 ini adalah kesembuhan jasmani dan rohani. Keselamat kekal menjadi milik orang Samaria karena imannya kepada Yesus.

Adalah tepat yang dikatakan dalam sebuah lagu "seek the blesser not the blessing" dalam konteks ini. Kiranya Tuhan Allah selalu mengarahkan kita untuk memprioritaskan Dia dalam setiap keputusan pergumulan hidup.

tabik,
yak

Sunday, January 24, 2010

MESIN PENUKAR UANG LOGAM

Sejak tahun 2000 pertumbuhan minimarket di Indonesia berkembang sangat pesat dengan ditandai persaingan dua minimarket terbesar yaitu Indomaret dan Alfamart. Jumlah toko berlogo Indomaret per tahun 2009 disebutkan 3892 buah sedangkan untuk pesaing terdekatnya, Alfamart pada tahun yang sama diperkirakan berjumlah 3250 buah. Perkembangan minimarket yang luar biasa tersebut menimbulkan satu implikasi terhadap para konsumennya dalam hal transaksi tunai. Sering sekali dijumpai dalam bertransaksi tunai di minimarket baik Indomaret maupun Alfamart, para konsumen diberi permen sebagai pengganti uang logam pengembalian yang seharusnya menjadi kelebihan pembayaran saat bertransaksi. Meski sudah banyak diprotes dan dikeluhkan para konsumennya tapi praktek ini masih terus berlangsung dan cenderung bertambah banyak.

Transaksi jual beli barang dan atau jasa di Indonesia dapat dilakukan secara tunai atau non tunai. Transaksi tunai menggunakan uang kertas dan atau uang logam yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral dengan Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) sebagai pihak pencetak uang tersebut. Meskipun secara resmi uang logam pecahan bernilai Rp. 1,- (satu rupiah),Rp. 50,- (lima puluh rupiah), Rp. 100,- (seratus rupiah), Rp. 200,- (dua ratus rupiah), Rp. 500,- (lima ratus rupiah) dan Rp. 1000,-(seribu rupiah) masih dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah hukum negara Republik Indonesia, namun demikian peran dan keberadaannya tidak sebagaimana mestinya.

Semakin banyak pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi barang dan atau jasa di Indonesia tidak mau menggunakan uang logam pecahan bernilai di bawah Rp. 500,- (lima ratus rupiah). Seakan sudah menjadi kesepakatan umum (konvensi) bahwa nilai terkecil dalam denominasi mata uang rupiah adalah uang logam Rp. 500,- (lima ratus rupiah). Jika demikian maka BI selaku bank sentral negara Republik Indonesia harus segara menyikapi hal ini dengan proposional sehingga tidak merugikan masyarakat dalam bertransaksi tunai menggunakan uang logam.

Memang mengejutkan seraya menyadari bahwa uang logam pecahan bernilai Rp. 1,- (satu rupiah) masih berlaku berdasarkan informasi yang disajikan website resmi BI per Januari 2010. Terlebih lagi mayoritas masyarakat tidak menggunakannya dalam transaksi barang dan atau jasa sehari-hari. Manfaat uang logam pecahan bernilai Rp. 1,- (satu rupiah) sudah hampir tidak ada lagi seperti juga uang logam pecahan bernilai Rp. 50,- (lima puluh rupiah) yang sering dicibirkan orang dalam bertransaksi barang dan atau jasa saat ini. Manfaat yang mungkin dapat disampaikan dengan masih berlakunya uang logam pecahan bernilai Rp. 1,- (satu rupiah) adalah untuk keperluan akuntasi dan laporan keuangan dalam sistem perekonomian Indonesia. Sedangkan manfaat dari uang logam pecahan bernilai Rp. 50,- (lima puluh rupiah) masih belum didapatkan selain untuk alat pembayaran saat bertransaksi barang dan atau jasa di Indonesia.

Gagasan menyederhanakan uang logam dan uang kertas menjadi hal yang suka atau tidak suka harus diperhatikan serius seiring perkembangan masyarakat Indonesia yang semakin kompleks. Saat ini terdapat 7 (tujuh) jenis uang kertas rupiah dan 8 (delapan) jenis uang logam rupiah yang dinyatakan sebagai alat pembayaran sah di Republik Indonesia. Sebaiknya uang logam yang sudah tidak efektif dalam penggunaannya untuk transaksi barang dan atau jasa di Indonesia, dilikuidasi saja.

Gagasan lain adalah BI memerintahkan bank-bank di Indonesia agar menyediakan mesin penukar uang logam dengan uang kertas semacam mesin Automatic Teller Machine (ATM) di tempat-tempat strategis agar nilai uang logam yang dipunyai masyarakat tidak hilang namun tetap berharga. Hal ini juga memerlukan insentif dari BI agar bank-bank tersebut mau melaksanakan hal itu.
Fungsi mesin penukar uang logam tersebut bisa saja kebalikannya yaitu apabila minimarket memerlukan uang logam untuk pengembalian transaksi barang maka mereka dapat pergi menukar uang kertas ke mesin tersebut.

Uang logam memang dibutuhkan dalam perekonomian kita namun sering fungsi dan keberadaannya diabaikan karena memang nilai nominalnya yang recehan. Gerakan pengumpulan koin untuk Prita dalam kasus pencemaran nama baik melawan Rumah Sakit Internasional Omni telah membuat masyarakat Indonesia menoleh sejenak kepada uang logam. Namun diperlukan pemikiran dan tindakan yang serius menangani uang logam rupiah agar kita semua yang menggunakannya menghargai secara penuh karena di dalam uang logam rupiah tersebut mengandung martabat bangsa dan negara republik Indonesia.


Tabik
yak

Thursday, December 17, 2009

Zakharia dan Elizabet



Masa advent 2009 memberi satu hal penting yang dapat mengukuhkan iman kepada Tuhan Allah yang disembah oleh Abraham, Ishak dan Yakub. Hal itu berkenaan dengan kisah kelahiran Yohanes Pembaptis (John the Baptist).


Hal yang menarik perhatian saya adalah iman Zakharia dan Elisabet, orangtua Yohanes Pembaptis. Kemungkinan besar topik ini jarang tampil di mimbar-mimbar gereja pada kebaktian minggu advent yang kita hadiri.


Kitab Lukas pasal pertama mencatat kisah kelahiran Yohanes Pembaptis cukup lengkap. Di sana ada tertulis:”Pada zaman Herodes, raja Yudea, adalah seorang imam yang bernama Zakharia dari rombongan Abia. Isterinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet. Keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat. Tetapi mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut umurnya.”


Keluarga Zakharia adalah keluarga yang takut akan Tuhan Allah. Kesimpulan ini diperoleh karena Zakharia adalah seorang imam yang isterinya juga keturunan Harun. Hal ini berarti Elisabet sejak kecil telah memahami dan hidup dalam lingkungan imam, lalu yang paling penting, mereka berdua adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat.


Keluarga Zakharia sebagaimana keluarga lainnya mengharapkan kehadiran anak yang akan menyemarakkan suasana hidup keluarga tersebut. Sejak tahun pertama pernikahan mereka hingga tahun-tahun berikutnya hingga lanjut umurnya, anak yang dinantikan tidak kunjung datang. Lanjut umur dalam tulisan Lukas dapat diartikan lebih dari dari 50 tahun. Apabila mereka menikah pada umur 25 tahun, untuk mudahnya, maka setidaknya sudah 30 sampai 35 tahun mereka menantikan hadirnya seorang anak.


Menanti kehadiran anak dalam jangka waktu sedemikian lama membuka banyak kemungkinan yang dapat melemahkan ataupun menguatkan iman mereka kepada Tuhan Allah. Pilihan sepenuhnya ada di tangan mereka. Apakah meninggalkan pengharapan kepada Tuhan Allah lalu berpaling ke hal lain yang lebih menjanjikan ataukah tetap setia berharap kepada Tuhan Allah dengan kesabaran luar biasa.


Pengaruh keluarga, tetangga, serta orang-orang yang berinteraksi dalam hidup mereka sehari-hari terasa begitu kuat. Sebagian tentunya mendorong agar tetap berharap dan setia kepada Tuhan Allah. Namun, tidak sedikit juga yang akan menyarankan sebaliknya dengan sejumlah alasan yang sangat masuk akal, sangat manusiawi dan sangat-sangat lainnya.


Di tengah tarik-menarik kekuatan untuk menguatkan atau melemahkan iman mereka, mereka berpikir dan bertanya manakah yang harus dipilih? Untuk sampai pada penulisan kalimat Lukas “Keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat” adalah penuh pergumulan bukan datang begitu saja. Jika boleh dibayangkan, mereka juga tidak luput dari kesalahan dan dosa saat menjalani pilihan tetap percaya kepada Tuhan walau belum dikaruniai seorang anak.


Pergumulan Zakharia dan Elisabeth, akan lebih menarik bila dibawa pada konteks masa kini. Dimana ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sudah berkembang pesat mempengaruhi cara hidup masyarakat modern termasuk dalam menyikapi berbagai masalah kehidupan yang dijumpai setiap manusia.


Hidup menurut perintah dan ketetapan Tuhan adakah akan memberikan manfaat? Ataukah hidup menurut pemikiran dan rancangan kita sebagai manusia yang berpendidikan, ditopang IPTEK serta berbagai afiliasi kelompok masyarakat akan lebih kelihatan dan terasa manfaatnya?


Zakharia dan Elisabeth, menurut saya, tidak pernah membayangkan atau merencanakan menjalani hidup keluarga tanpa kehadiran anak bertahun-tahun hingga lebih dari 30 tahun. Mereka juga tidak memahami sepenuhnya apakah maksud Tuhan Allah dengan tidak dihadirkannya anak dalam keluarga mereka MESKIPUN, menurut saya, mereka sudah dan terus berdoa, meminta, bahkan berpuasa, agar dikaruniai anak. Hal menarik di sini adalah apakah mereka BERHENTI berharap dan meminta kepada Tuhan Allah? Jawabannya adalah TIDAK.


Apabila saat ini kita sedang menapaki jalan kehidupan serupa dengan Zakharia dan Elisabet, bukan hanya sedang mengharap kehadiran seorang anak, namun mengharap karunia Tuhan Allah dalam menjawab permohonan doa kita maka belajar dari kedua orang ini, Zakharia dan Elisabet akan menguatkan iman kita kepada Tuhan Allah.


Kita tidak akan pernah mengetahui maksud Tuhan Allah dalam kehidupan kita sampai pada akhir tujuan rencana itu digenapi. Demikian juga pasangan Zakharia dan Elisabet, yang tidak memahami maksud Tuhan Allah dengan harus menunggu bertahun-tahun untuk mempunyai seorang anak. Tuhan Allah menggunakan pasangan ini dalam rencana besarnya untuk keselamatan manusia melalui Yesus Kristus, di mana Yohanes Pembaptis adalah pembuka jalan kehadiran sang mesias, juruselamat. Meski kita tidak memahami maksud Tuhan Allah dalam hidup yang kita jalani tetapi satu hal yang pasti kita ketahui bahwa maksud Tuhan Allah adalah baik dan untuk kesejahteraan kita (Yeremia 29:11)


Tetap setia untuk hidup sesuai perintah dan ketetapan Tuhan Allah merupakan kunci memahami apakah sejatinya maksud Tuhan Allah dalam hidup kita. Memang benar kita akan dianggap manusia bodoh karena tetap berharap untuk hal yang seakan sia-sia, mustahil dan membuang waktu. Namun, sebagaimana Daud dalam Mazmur 42 menyatakan “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” Kiranya kita tetap setia berharap pada Tuhan Allah untuk setiap pergumulan hidup kita.


tabik,

yak

Sunday, December 13, 2009

Integritas dalam kasus hukum di tahun 2009

Hiruk pikuk cicak dan buaya yang merupakan metafora perseteruan antara dua lembaga penegak hukum di Indonesia yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) sudah usai dengan durasi hampir 9 bulan sejak Maret 2009. Hasil akhirnya adalah tuduhan Polri melalui Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) terhadap 2 pimpinan KPK yaitu Chandra Hamzah dan Bibit Riyanto tidak sampai ke meja hijau karena Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) pada 1 Desember 2009.

Episode perseteruan cicak dan buaya yaitu suatu istilah yang dilontarkan Kabareskrim pada waktu itu Komjen Susno Duaji akan menjadi peristiwa penting dan bersejarah di perjalanan hidup Republik Indonesia sejak kemerdekaannya tahun 1945. Betapa tidak, secara jelas para pejabat teras Polri telah bertindak di luar kepatutan seorang polisi yang memiliki hati nurani dan setia pada profesinya untuk melindungi serta mengayomi masyarakat. Sangkaan yang dituduhkan kepada 2 pimpinan KPK yaitu Chandra Hamzah dan Bibit Riyanto sangat sarat hal yang penuh tanda tanya serta ketidak konsistenan dalam alur pikir logika orang waras. Hal ini disampaikan bukan secara emosional tetapi sudah pula menjadi salah satu butir rekomendasi Tim Delapan, suatu tim yang dibentuk khusus oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diketuai Dr. Adnan Buyung Nasution, untuk melakukan verifikasi proses hukum yang dilakukan Bareskrim Polri dalam penanganan kasus Chandra Hamzah dan Bibit Riyanto.

Jika saja para pejabat teras polri memiliki integritas maka hal ini dapat dihindarkan tidak terjadi. Saya percaya saat memulai menangani kasus Chandra dan Bibit, sesungguhnya hati nurani para pejabat teras polri tersebut bergemuruh bertanya apakah harus dilanjutkan atau tidak. Namun karena satu dan lain hal alasan maka integritas disingkirkan jauh-jauh sehingga kasus ini terus bergulir hingga ke tahap penahanan kedua pimpinan KPK yang di-nonaktifkan sementara sesuai undang-undang KPK sebelum diuji di depan Mahkamah Konstitusi (MK).

Rakyat Indonesia disuguhi rangkaian segmen-segmen episode kisah kasus ini hingga berpuncak saat diperdengarkannya rekaman penyadapan percakapan beberapa orang yang populer sebagai jajaran penegak hukum dengan Anggodo Widjojo, yang merupakan adik tersangka kasus korupsi Anggoro Widjojo yang buron di Singapura. Betapa sungguh mengejutkan hal itu dengan terang benderang diungkap ke depan publik, sesuatu hal yang sebelumnya disimpan rapat dan bisik-bisik dipercakapkan di ruang belakang kehidupan publik Indonesia. Kembali dalam hal ini integritas para penegak hukum dipertanyakan dengan serius. “Apakah para penegak hukum di Indonesia memiliki integritas?”

Agama dan keyakinan para penegak hukum dapat saja beragam, namun semuanya sepakat bahwa integritas adalah hal penting dan mutlak dalam mengemban amanat rakyat dalam menegakkan hukum. Definisi dan pengertian integritas bisa saja sempit atau luas namun jajaran penegak hukum yang berintegritas tentu akan memberi pengaruh sangat nyata terhadap terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia di bidang hukum.

Memiliki integritas tidak dapat seperti membeli barang di pasar yang sudah tersedia jadi dan tinggal dikonsumsi. Integritas sudah harus dimulai sejak dini pada kehidupan anak manusia. Lingkungan tumbuh anak manusia itu yang sangat berperan menanam, menyemai dan menumbuh-kembangkan integritas hingga satu saat ia dapat bermanfaat.

Tidak lama berselang setelah kasus cicak dan buaya maka mulai bulan Desember 2009, rakyat Indonesia disuguhi kasus Bank Century yang ditingkahi dengan pembentukan Panitia Khusus Hak Angket DPR Republik Indonesia. Kembali di sela-sela perjalanan kasus Bank Century, adalah Bambang Soesatyo, anggota DPR dari fraksi Golkar mencuatkan temuan rekaman pembicaraan antara Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani dengan pemegang saham Bank Century, Robert Tantular. Dengan yakin dan lantang, sang anggota DPR ini menyatakan bahwa terjadi percakapan antara Sri Mulyani dan Robert Tantular. Pernyataan ini mudah dibaca dan didengar dalam berbagai media massa. Namun apa yang terjadi setelah terjadi bantahan dari Sri Mulyani dan didukung sejumlah orang yang mengetahui kejadian yang dimaksud, maka Bambang Soesatyo mulai ingkar dan mungkir dengan pernyataannya seraya mengatakan bahwa semua pernyataan dan tindakannya adalah dalam kerangka tugas Pansus Hak Angket DPR sehingga memiliki hak imunitas hukum alias tidak dapat diperkarakan. Mungkin bagi sebagian pihak hal ini adalah sepele, kecil dan immaterial. Namun baiklah kita menyadari bahwa Bambang Soesatyo mempertunjukkan hal yang sangat serius dalam bertanggungjawab terhadap suatu pernyataan di depan publik. Bambang Soesatyo tidak sendiri, Kepala Polisi Indonesia, Jendral Bambang Hendarso Danuri, pernah mengalami hal yang mirip saat dengan lantang dan yakin bahkan bersumpah menyatakan bahwa Nurcholish Madjid tersangkut dalam kasus Chandra Hamzah karena anak beliau pernah menikah dengan Chandra Hamzah dengan saksi nikah Malem Sambat Kaban, mantan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, dan Chandra Hamzah disangka bertindak di luar ketentuan hukum berlaku dalam menangani perkara korupsi yang diduga melibatkan Malem Sambat Kaban. Menyadari kesalahannya maka Kapolri datang dan memohon maaf kepada isteri almarhum Nurcholish Madjid di kediaman beliau. Jendral Bambang Hendarso Danuri bertanggungjawab terhadap pernyataannya, Bagaimana nantinya dengan Bambang Soesatyo? Apakah integritas dimiliki anggota DPR dari fraksi Golkar yang bernama Bambang Soesatyo?

Jika kita dapat melompati waktu hingga bulan Maret 2010 maka kita dapat mengetahui akhir cerita Pansus Hak Angket DPR untuk Bank Century. Apakah kejadian cicak dan buaya akan terulang atau adakah versi terbaru dari kisah kasus Bank Century ini?
tabik,
yak

Sunday, January 18, 2009

HARGA NAIK - HARGA TURUN

“Apa yang sudah naik tidak bisa lagi turun” sudah menjadi slogan ampuh bagi banyak pengusaha di Indonesia hari-hari terakhir ini menyusul pengumuman penurunan BBM oleh pemerintahan SBY hingga tiga kali berturut-turut yaitu 01 dan 15 Desember 2008, kemudian 15 Januari 2009. Bagi para pengusaha yang berorientasi profit maka sesuatu yang wajar bila mendapat margin lebih besar dengan penurunan BBM tersebut. Namun meletakkan permasalahan ini dalam konteks lebih luas maka perlu adanya respon sejajar dan bernuansa adil (fair) terhadap penurunan BBM tersebut.

Dalam ilmu ekonomi, harga di pasar ditentukan oleh kekuatan pasokan (supply) serta kekuatan permintaan (demand). Bila kekuatan pasokan lebih besar dari kekuatan permintaan maka harga akan turun demikian sebaliknya. Untuk setiap satuan pasokan memiliki sejumlah permintaan yang membentuk sejumlah harga tertentu, yang memungkinkan terjadinya transaksi pertukaran barang dan jasa dengan uang. Mekanisme ini bisa terjadi dalam pasar persaingan sempurna yaitu semua pelaku dalam pasar memiliki akses informasi yang sama. Di kehidupan sehari-hari keadaan tersebut, bisa dibilang amat jarang terjadi kalau tidak boleh dibilang mustahil terjadi.

Kepemilikan informasi yang tidak seimbang dan merata kemudian ditambah sejumlah faktor lainnya seperti: politik, strategi perusahaan, kondisi keuangan perusahaan atau persaingan dalam industri membuat terjadinya anomali pada interaksi kekuatan pasokan dan kekuatan permintaan untuk membentuk harga sesuai penjelasan di atas.

Meski demikian nuansa adil (fair) perlu tetap dipertimbangkan dalam konteks luas yaitu kemaslahatan orang banyak. Saat harga BBM naik maka serta merta tanpa perlu adanya surat keputusan pihak berwenang atau waktu jeda untuk menghitung efek membengkaknya ongkos produksi, para pengusaha menggunakan momen tersebut untuk menaikan harga jual barang dan jasa mereka. Tindakan yang cerdik jika dipandang bahwa menaikkan harga karena alasan inflasi tahunan sering sulit diterima konsumen dan pasar, tetapi dengan momen itu maka mau tidak mau kenaikan harga akan diterima.

Di Indonesia istilah ekonomi biaya tinggi muncul karena adanya berbagai ongkos di luar komponen produksi normal, sehingga sering pengusaha menyebut hal ini saat menaikkan harganya dan tidak mau menurunkan serta merta mengikuti hukum permintaan – pasokan seperti dalam ilmu ekonomi. Namun sekali lagi jika dengan berpegang pada prinsip adil (fair) maka hal ini bukanlah sesuatu yang mutlak dalam artian dengan menurunkan harga seiring dengan naiknya besaran margin keuntungan tidak membuat para pengusaha menjadi rugi. Hal ini dapat diyakini karena para pengusaha adalah kelompok yang paling pandai berhitung untuk dapat bertahan (survive) pada kondisi yang minimalis sekalipun dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada.

Harga-harga komoditi berbagai hasil alam Indonesia selalu berfluktuasi mengikuti perkembangan pasar internasional. Sebagai kesatuan ekonomi (economy entity) yang tidak lepas dari sistem ekonomi dunia sudah seharusnya ekonomi Indonesia menjadi cermin dinamika perekonomian global. Apabila hal tersebut tidak terjadi maka cepat atau lambat maka ekonomi Indonesia akan mengalami dampak kontraksi mengagetkan (shocking contraction) dalam upaya penyesuaian terhadap irama dinamika perekonomia global yang melanda semua negara dan tidak bisa dibendung oleh siapapun. Konsekuensi dan harga yang harus dibayar akibat kontraksi ekonomi yang mengejutkan tersebut terlalu mahal dan beresiko tinggi bahkan lebih besar dari krisis 1998 pasca lengsernya rejim Suharto. Oleh karena itu dalam suasana mood ekonomi sedang berayun turun maka adalah tidak bijak bersikukuh untuk tidak ingin menurunkan harga sebab hukum alam jangan dilawan tetapi perlu dipahami untuk dapat dimanfaatkan demi kemaslahatan umat manusia.

Apa yang sudah naik, masih bisa turun dalam batas kewajaran dan berprinsip pada keadilan (fairness) demi kemaslahatan bersama.

tabik,
yak

Monday, January 05, 2009

Tema hidup

Penghujung tahun 2008 saya bertemu seseorang yang telah bekerja 43 tahun sebagai pegawai negeri. Tahun depan ia akan pensiun. Sungguh satu periode yang sangat panjang untuk bekerja bagi seseorang Indonesia secara rata-rata. Enam puluh delapan persen waktu dalam tahun-tahun hidupnya digunakan untuk bekerja.

Satu sisi bisa disebut ia beruntung karena diberi kekuatan dan kesehatan hingga dapat bekerja selama itu. Diberi kesempatan yang memungkinkannya bekerja lebih dari usia pensiun normal bagi seorang pegawai negeri. Ia sudah menjejakkan kaki di banyak kota dan daerah di Indonesia selama dinasnya untuk bertemu banyak orang dengan berbagai karakter dan latar belakang. Ia juga beruntung dapat survive dari bermacam peristiwa dan krisis yang muncul silih berganti di dunia kerjanya. Meski tidak memiliki harta benda berlimpah namun ia dapat menghidupi keluarganya dengan tidak berkekurangan hingga anak-anaknya beranjak dewasa dan mandiri.

Apa yang barusan dipaparkan sepintas kedengaran biasa dan datar saja. So what gitu? Seorang pensiunan pegawai negeri dengan masa layanan begitu panjang dan hidup yang biasa-biasa saja. Di mana gregetnya? Apa maksud ceritanya? Awalnya sayapun berpikir demikian, sampai satu saat saya bertanya kepadanya. “Hal apa yang Bapak anggap paling berharga setelah melewati tahun-tahun panjang demikian itu?”

Ia menjawab:”Saya telah memelihara integritas sejak hari pertama menjadi pegawai negeri.” “Saya menjadi manusia sepenuhnya dengan integritas yang saya imani sesuai keyakinan saya.”

“What is the most valuable thing in your life?” Ada sejumlah jawaban yang biasa disampaikan orang, diantaranya: ”kesehatan, anak-anak, keluarga, uang, kesuksesan karir, amal, atau kenikmatan hidup dunia.” Tentunya masih ada lagi jawaban berbeda lainnya bagi tiap orang. Apapun jawaban itu akan menjadi tema kehidupan yaitu suatu hal yang mewarnai tiap sudut kehidupan kita dengan jelas sehingga orang lain mengetahuinya. Kita seharusnya konsekuen dengan pilihan tema itu karena sesungguhnya kita memiliki pilihan terhadap tema kehidupan bukan semata takdir yang hanya harus dijalani.

Sebagaimana Bapak tadi yang memilih integritas menjadi tema hidupnya maka segala konsekuensinya harus dilalui untuk sampai pada akhir hidupnya. Apabila ia tidak sanggup melalui segala konsekuensi pilihan tema hidupnya maka ia dapat mengganti tema hidupnya di tengah jalan dan konsekuensinya tentu ikut berubah. Demikian seterusnya apabila ia tidak senang dengan tema hidup barunya, iapun dapat memilih tema lain berikut konsekuensinya hingga ajal menjemput. Kita hidup sangat berkaitan dengan tema hidup yang kita pilih.

Salah satu contoh konsekuensi atas tema hidup integritas yang dipilih Bapak tadi adalah saat di pertengahan tahun 1970-an, ia ditawari sejumlah uang puluhan juta untuk tidak melaporkan penyimpangan suatu proyek pemerintah di Jawa Timur yang diketahuinya saat melakukan pemeriksaan laporan keuangan. Konsekuensi tema hidup yang dipilihnya adalah menolak hal tersebut. Dia tidak kecewa meski laporannya tidak dihiraukan dan bahkan Pimpinan Proyek tersebut mendapat promosi di provinsi Bali. Masih ada banyak peristiwa lebih dahsyat lagi setelah itu yang cukup memberi alasan berpindah ke tema hidup lain namun keyakinan imannyalah yang menguatkan dan menghiburnya.

Setia terhadap tema hidup berikut segala konsekuensinya apakah ada manfaatnya? Ataukah hidup dengan berganti tema hidup sesukanya dengan mengutamakan kenikmatan hidup itu yang dianggap sebagai cara lebih baik karena hidup itu hanya sekali dan sebentar saja?

Saya mengetahui seorang pensiunan pegawai negeri yang sering berganti tema hidup demi mendapat keuntungan dan kenikmatan hidup. Ia memang berhasil mendapatkannya sebagaimana terlihat pada kehidupan sehari-harinya. Ia bak peselancar yang berhasil mengendarai ombak berpindah dari satu gelombang ke gelombang lain tanpa harus terjatuh tergulung ombak. Namun ada yang menyebutnya opportunist atau bunglon. Apapun penggambaran orang terhadapnya, adalah jelas ia banyak memiliki tema hidup atau mungkin memiliki satu tema hidup yang bertajuk:”Menyesuaikan diri dalam segala hal apapun juga dengan biaya berapapun.”

Adalah Hakim Besar nan Mulia yang akan bertanya saat ajal telah menjemput kita dengan pertanyaan:” Bagaimana kamu menghabiskan waktu hidup yang telah diberikan kepadamu?” Saat itulah tema hidup tiap orang akan dipaparkan dan penghakiman akan diberikan oleh Hakim Besar nan Mulia untuk memberi anugerah bagi setiap orang yang tema hidupnya sesuai dengan nilai keyakinan yang ditetapkan Sang Pemberi Hidup. Apakah anda mempercayainya?

tabik,
yak

Thursday, December 11, 2008

Paradigma baru pemasaran jasa

Sudah bertahun-tahun pertanyaan apa perbedaan antara barang dan jasa selalu dijawab dengan menyebutkan empat karakteristik unik milik jasa yang tidak dipunyai oleh barang. Empat karakteristik tersebut adalah Intangibility (tidak berwujud), Heterogeneity (tidak standar), Inseparability (tidak dapat dipisah proses produksi dan konsumsi) serta Perishability (tidak dapat disimpan). Semua hal tersebut mudah dijumpai dalam berbagai buku teks manajemen pemasaran yang ditulis para ahli manajemen sehingga kini kita menerima dan mengamininya sebagai kebenaran perbedaan antara barang dan jasa.

Semua hal di atas tidak lagi sama (it is never be the same anymore) semenjak Lovelock dan Gummenson (2004) menulis sebuah artikel yang mengkritisi empat karakteristik pembeda antara barang dan jasa. Telah terjadi guncangan hebat dalam paradigma ilmu manajemen pemasaran jasa (service marketing management). Perkembangan jaman telah menyebabkan perlunya perbaikan paradigma pemasaran jasa agar tetap relevan dengan era kehidupan manusia saat ini.

Menurut Lovelock dan Gummenson, empat karakteristik unik yang selama ini disebut hanya dimiliki jasa dan tidak ada pada barang ternyata sudah tidak demikian kenyataannya. Karakter intangibility (tidak berwujud) berimplikasi bahwa jasa karena tidak berwujud maka berbeda dengan barang tidak dapat dicoba dulu sebelum dibeli. Hal ini sekarang ternyata juga dimiliki beberapa barang dengan pertumbuhan bisnis pemesanan via internet atau telepon. Banyak konsumen tidak dapat lagi memegang-megang atau mencoba barang sebelum memutuskan untuk membeli sehingga karakter intangibility (tidak berwujud) muncul di situasi seperti ini. Sebaliknya jasa penginapan seperti hotel ternyata memiliki karakter tangibility (berwujud) saat konsumen hendak membeli jasa penginapan bisa terlebih dahulu melihat kamar sebelum memutuskan untuk membelinya.

Karakter heterogeneity (tidak standar) juga mengalami hal sama saat banyak barang manufaktur mengalami penolakan (reject) karena tidak memenuhi standar dengan berbagai sebab padahal dengan adanya penggunaan mesin atau robot diharapkan selalu menghasilkan barang standar. Sebaliknya jasa layanan perbankan yang menggunakan mesin seperti ATM menghasilkan jasa berstandar sehingga menekan heterogeneity yang umum ditemukan dalam jasa.

Karakter inseparability (proses produksi dan konsumsi yang bersamaan) tidak lagi selalu dimiliki jasa karena sekarang ada jasa yang dapat dipisahkan antara proses produksi dan konsumsinya. Jasa laundry atau kurir merupakan contoh bahwa proses produksi dan konsumsi jasa dapat dipisahkan sehingga karakter inseparability tidak lagi selalu valid untuk jasa.

Karakter perishability (tidak dapat disimpan) merujuk pada tidak adanya penyimpanan (inventory) untuk jasa namun sekarang ini ada jasa hiburan (entertainment) misalnya musik dan film yang dapat disimpan dalam berbagai media penyimpanan (DVDs atau tape). Dengan demikian karakter perishability milik jasa tidak selalu terdapat pada setiap jasa.

Konsekuensi dari tulisan itu Lovelock dan Gummenson menyampaikan tiga usulan pilihan terhadap perkembangan ilmu manajemen pemasaran jasa. Pertama, menyatukan kembali ilmu manajemen pemasaran jasa kepada induk ilmunya yaitu ilmu manajemen pemasaran (marketing management) karena sudah tidak ada perbedaan karakter yang dominan antara barang dan jasa. Kedua, tetap mempertahankan ilmu manajemen pemasaran jasa dengan fokus pada sub bidang tertentu seperti: jasa berbasis informasi (information-based services), jasa elektronik (e-services), jasa yang dapat dipisahkan (separable services) dan jasa yang melibatkan aksi berwujud (tangible actions involvement services). Ketiga, menemukan paradigma baru yang bisa membedakan jasa dari barang.

Untuk usulan pertama, dapat dipandang bahwa jasa ternyata telah menyebar ke seluruh sendi kehidupan manusia bahkan seperti pernah dikatakan oleh Theodore Levitt (1972) bahwa setiap orang ada dalam jasa sehingga pentingnya jasa diakui semua pihak dalam memasarkan barang dengan memperhatikan faktor layanan terhadap konsumennya. Dalam perkembangan ilmu manajemen pemasaran selanjutnya faktor jasa selalu menjadi kesatuan produk dalam setiap perumusan strategi pemasaran di berbagai industri.

Usulan kedua, pendekatan kategorial terhadap jasa akan lebih menguntungkan untuk membumikan ilmu manajemen pemasaran jasa. Namun demikian usaha membumikan ilmu tersebut melibatkan banyak studi kasus dan observasi sejumlah besar jasa dan kemudian melihat secara induktif pada hasil tanpa menggunakan kacamata konsep dan prinsip-prinsip keilmuan yang dipercayai saat ini.

Usulan ketiga, mencoba menawarkan karakteristik yang mungkin hanya dimiliki oleh jasa yaitu nonownership (nirkepemilikan). Pada saat transaksi jual beli barang maka terjadi perpindahan kepemilikan (ownership) atas barang tersebut. Namun saat transaksi jual beli jasa tidak ada perpindahan kepemilikan atas sumber penghasil jasa seperti jasa penerbangan, yaitu penumpang pesawat setelah membeli jasa penerbangan tidak memiliki pesawat yang menerbangkannya. Dengan kerangka kerja nirkepemilikan (nonownership) maka Lovelock dan Gummeson membuat sejumlah kategori jasa sebagai berikut:
a. Jasa penyewaan barang
b. Jasa penyewaan tempat dan ruang
c. Jasa penyewaan tenaga kerja dan keahlian
d. Jasa penggunaan dan akses fasilitas fisik
e. Jasa penggunaan dan akses jaringan

Implikasi dari karakter nirkepemilikan jasa antara lain bahwa manufaktur barang dapat membentuk basis untuk sebuah jasa, kemudian jasa dapat menjadi bagian sebuah penjualan retail untuk suatu entity fasilitas fisik yang besar, selanjutnya tenaga kerja dan keahlian dipandang sebagai sumberdaya terbarukan dalam jasa bukan bersifat habis pakai (used-up), waktu akan memainkan peran sentral di hampir setiap jasa, akan ada pembaruan dalam penentuan harga jasa, serta jasa akan membuka kesempatan menikmati sumberdaya bersama-sama (sharing resources).

Paradigma sewa atau akses (rental/access paradigm) untuk jasa dalam hal kepemilikan yang diusulkan Lovelock dan Gummeson menjadi hal yang akan terus dipertajam dan dikembangkan dalam ilmu pemasaran jasa sehingga dapat dikukuhkan sebagai pembeda antara jasa dan barang. Ketika barang disewakan maka dia adalah bagian dari jasa bukan lagi barang yang diperjualbelikan dengan terjadinya perpindahan kepemilikan atas barang tersebut.

Tabik,
yak

Sumber tulisan:
Lovelock, Christopher H. and Evert Gummeson (2004), “Whiter Services Marketing? In Search of a new Paradigm and Fresh Perspective,”Journal of Service Research, 7 (August), 20-41.
Levitt, Theodore (1972), “Production Line Approach to Service,”Harvard Business Review, 50 (September-October), 41-52.