Wednesday, June 02, 2010

MENJADI SATU

BJ Habibie tiba di Jerman pada Rabu, 24 Maret 2010. Ia ikut mengantar langsung Hasri Ainun Besari Habibie, istri terkasihnya ke rumah sakit Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Gro'hadern, Munchen, Jerman. Dan sejak saat itu hingga Ainun meninggal pada Sabtu, 22 Mei 2010 dengan sambil terus mengelus kepala istri tercinta pada saat-saat terakhir, tidak pernah sekali pun Habibie meninggalkan istrinya. Menikah di hari Sabtu, 12 Mei 1962 dan berpisah karena kematian juga di hari Sabtu, 22 Mei 2010 telah membentangkan waktu 48 tahun lamanya kehidupan kesatuan pasangan BJ Habibie dan Hasri Ainun Besari Habibie.

Sepenggal kisah anak manusia di atas membawa pemikiran kepada hubungan pria dan wanita yang diikatkan dalam lembaga pernikahan. Kehidupan perkawinan BJ Habibie dan Hasri Ainun dapat juga dialami setiap pasangan anak manusia dengan menerapkan prinsip-prinsip benar hidup rumah tangga yang dinaungi oleh lembaga pernikahan.

Salah satu prinsip benar hidup rumah tangga yang dinaungi oleh lembaga pernikahan adalah prinsip kesatuan. Dua pribadi yang berbeda banyak hal, disatukan dalam ikatan pernikahan untuk membentuk rumah tangga baru. Dua orang yang berlainan jenis kelamin dipersatukan untuk menurunkan generasi lebih baik. Dua menjadi satu, demikianlah esensi pernikahan anak manusia di dunia ini.

Sebagaimana tertulis di Markus 10 : 6 - 9 dan sering dikutip saat pemberkatan pernikahan di gereja oleh pendeta : “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Pertanyaan yang dapat tampil dari kutipan alkitab di atas adalah : ”Apakah menjadi satu itu?”

Pemahaman menjadi satu bisa mencakup spektrum arti yang luas hingga ke semua aspek kehidupan manusia. Sejumlah pertanyaan yang sering muncul dalam benak kebanyakan orang, seperti berikut ini: ”Jika menjadi satu, apakah pribadi-pribadi berbeda sebelum pernikahan akan lenyap dan menjadi satu pribadi?”, ”Menjadi satu dalam hal apa saja?”, ”Untuk apa menjadi satu?” dan ada juga pertanyaan skeptikal: “Dapatkah menjadi satu?” Semua pertanyaan itu menuntut jawaban dan jawaban tersebut bergantung pada keinginan penanya mendapatkan kedalaman serta keluasan jawaban sehingga bisa sederhana namun bisa juga kompleks.

Menjadi satu adalah seperti pengertian seimbang yang tidak harus diartikan separuh-separuh. Ada konteks dalam mengerti dan menerapkan pemahaman menjadi satu. Iman kristen, mempercayai prinsip menjadi satu bermula dari bersatunya Adam dan Hawa di Kejadian 2 : 22 - 24 sebagai berikut:” Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Dalam alkitab bahasa Inggris King James Version (KJV) di Kejadian 2 ayat 23, digunakan kata ”cleave” pada kalimat ”...shall cleave unto his wife:” Pengertian “cleave” disebutkan dalam kamus Merriam-Webster adalah “: to adhere firmly and closely or loyally and unwaveringly” diterjemahkan :”melekat/menempel dengan kuat, dengan dekat, dengan setia dan dengan kokoh.” Dapat dibayangkan bahwa untuk menghasilkan situasi dan kondisi yang menempel/melekat begitu kuat, begitu setia dan begitu kokoh (cleave) sehingga sering disebut menyatu (united) diperlukan sesuatu atau bahan antara dua benda atau dalam hal ini manusia yang menyebabkan menjadi melekat bahkan menyatu.

Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus pasal 5 ayat 22 dan 25, menyebutkan sesuatu atau bahan yang menyebabkan penyatuan antara suami dan isteri dalam perspektif iman kristen yaitu sikap tunduk pada suami (submission to husband) dan sikap menyerahkan diri pada isteri (gave himself to wife). Sikap tunduk yang dibalas dengan sikap menyerahkan diri merupakan bahan pelekat atau penyatu yang kuat, setia, dan kokoh antara suami dan isteri sebagaimana diwujudkan melalui kata ”cleave” dalam KJV Genesis 2 : 23.

Memilih sikap menyerahkan diri atau sikap tunduk adalah bagian dari kehendak bebas manusia seperti memilih bertindak dosa atau tidak. Sesudah memilih untuk bersikap menyerahkan diri atau bersikap tunduk maka hal selanjutnya adalah kemampuan untuk mewujudkannya dalam tindakan nyata. Hal itu memerlukan inspirasi dan pertolongan Tuhan Allah pencipta kita yang diimani melalui Yesus Kristus. Adalah tidak mudah melaksanakan sikap-sikap yang ditulis Rasul Paulus dalam surat Efesus pasal 5 : 22 dan 25 di atas. Namun sekali lagi hal tersebut bukan mustahil dan selalu ada pertolongan Tuhan bagi setiap pasangan suami isteri yang berkehendak melakukannya.

Menjadi satu adalah pergumulan hidup yang terus menerus diakrabi hingga akhir hayat oleh setiap pasangan dalam pernikahannya. Bersyukurlah untuk pasangan yang dikaruniakan Tuhan bagi kita masing-masing. Saya percaya Baharuddin Jusuf Habibie dan Hasri Ainun Besari Habibie juga setuju bahwa sikap tunduk kepada suami yang dibalas dengan sikap menyerahkan diri kepada isteri menjadi bahan pelekat dan penyatu pernikahan mereka hingga maut memisahkan di senja hari Sabtu, 22 Mei 2010, pukul 17.30 waktu Munchen.

Tabik,
yak

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home