Sunday, December 16, 2007

Superkaya

Distribusi kemakmuran (wealth distribution) di dunia ini tidak pernah akan merata namun mengikuti sebuah kurva yaitu kurva Lorenz (L-Curve). Melalui kurva tersebut diperlihatkan bahwa sepertiga kemakmuran hanya dinikmati 10 persen populasi, kemudian sepertiga kemakmuran lainnya dinikmati oleh 30 persen populasi dan sepertiga kemakmuran terakhir dinikmati oleh 60 persen populasi penduduk. Hal ini juga dapat mudah dibuktikan dengan melihat sedikitnya orang yang dikategorikan makmur atau kaya di lingkungan kita.

Dari 10 persen populasi orang yang dikategorikan kaya, masih dapat dipilah lagi sekelompok orang yang berada di puncak grup ini. Jumlah orang di kategori ini juga amat sangat sedikit karena masih dalam bilangan ratusan. Kelompok orang inilah yang disebut crème de la crème atau top of the top atau superkaya. Jika dinilai dari jumlah aset atau kekayaan yang dikuasai orang-orang dalam kelompok ini paling sedikit bernilai 100 juta US Dollar.

Kompas terbitan Selasa, 31 Juli 2007 yang mengutip hasil kajian majalah Globe Asia pimpinan Rizal Ramli, mantan menteri keuangan Republik Indonesia, menyebutkan ada 150 orang Indonesia yang memiliki kemakmuran (wealth) minimal 1 triliun rupiah (120 juta US Dollar). Budi Hartono, pemilik perusahaan rokok Djarum dari Kudus dinobatkan menjadi yang teratas dalam daftar 150 orang superkaya di Indonesia dengan nilai kemakmurannya sebesar 37.8 triliun rupiah (4.2 miliar US Dollar). Rachman Halim dari Gudang Garam, Kediri berada di urutan kedua dengan nilai kemakmuran sebesar 31.5 triliun rupiah (3.5 miliar US Dollar). Eka Tjipta Widjaja dengan grup Sinar Mas di urutan ketiga dengan nilai kemakmuran sebesar 27.9 triliun rupiah (3 miliar US Dollar). Sudono Salim yang pernah disebut-sebut orang Indonesia paling kaya berada di urutan keempat dengan nilai sebesar 25.2 triliun rupiah (2.7 miliar US Dollar). Di urutan lima ada Putera Sampoerna yang menjadi berita besar karena menjual Sampoerna Grup ke Philip Morris dengan nilai kemakmuran sebesar 19.8 triliun rupiah (2.1 miliar US Dollar).

Di luar lima besar tercatat nama-nama berikut secara berurutan hingga sepuluh besar (Sukanto Tanoto – 11.7 triliun rupiah, Eddy William Katuari – 9.9 triliun rupiah, Aburizal Bakrie – 9.5 triliun rupiah, Arifin Panigoro – 8.1 triliun rupiah dan Hary Tanoesoedibjo – 7.3 triliun rupiah).

Apa tujuan penguasaan kemakmuran yang demikian besar? Apakah kekuasaan (power), atau kenikmatan hidup ataukah pemenuhan kebutuhan diri (ego), atau juga kepedulian terhadap orang lain? Satu hal yang pasti yaitu mereka dikatakan dapat melakukan apa saja sekeinginannya.

Penggunaan kemakmuran yang demikian besar sangat dipengaruhi oleh nilai hidup (life value) masing-masing orang. Nilai hidup dibentuk oleh pengalaman hidup dan pandangan hidup (baca: ajaran spiritual) setiap orang tersebut.

Apabila mereka yang tergolong superkaya itu menyadari bahwa sebanyak-banyaknya kemakmuran yang dikuasainya tidak akan berlanjut hingga kekal maka hanya kematian yang menjadi batasan penguasaan kemakmuran itu. Sebelum mati maka hal seperti apakah yang diinginkan orang-orang tersebut dengan menggunakan kemakmuran yang demikian besar? Ingin seperti apa sejarah akan mencatat mereka dalam jejak langkah hidupnya? Hal ini mendorong munculnya gerakan filantropis di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Saat inipun filantropis diarahkan bukan saja dilakukan secara individu tetapi juga oleh institusi dengan nama tanggung jawab sosial korporat (Corporate Social Responsibility).

Bidang pendidikan dan kesehatan umumnya menjadi sasaran gerakan filantropis dan CSR (Corporate Social Responsibility). Eka Tjipta Foundation dan Sampoerna Foundation menjadi contoh gerakan filantropis atau CSR di bidang pendidikan. Kemudian Mochtar Ryadi dengan Rumah Sakit Siloam di Karawaci dan rencana pembangunan Hope Cancer Center di Jakarta menjadi contoh gerakan filantropis di bidang kesehatan.

Menjadi kaya adalah tidak berdosa. Cara menggunakan dan menikmati kekayaanlah yang dapat membuat dosa. Semakin banyak diberkati Tuhan maka semakin besar tanggungjawab pengelolaan terhadap berkat tersebut.
tabik,
yak

POTENSI BISNIS FILM BIOSKOP INDONESIA

Potensi pasar bioskop di Indonesia belum diungkap ke permukaan. Industri film Indonesia sedang mencapai keseimbangan pasar di tengah serbuan teknologi digital yang mengubah perilaku konsumen Indonesia menikmati sebuah film. Dahulu, kita menyaksikan film apapun hanya di dua media yaitu bioskop dan televisi. Di awal tahun 1980-an saya berkenalan dengan film format video VHS dan Betamax yang diputar lewat video player untuk ditonton di layar kaca televisi. Menonton film sudah bisa dilakukan di rumah dengan waktu kapan saja tanpa menunggu jadwal siaran di televisi atau tanpa harus tidak terlambat masuk ke gedung bioskop pada jam tayang tertentu.

Sekarang berkat adanya DVD (Digital Versatile Disc) maka menikmati film sudah tergantung keinginan kita sendiri. Dimana, kapan, bagaimana, apa dan dengan siapa film tersebut dinikmati sudah bisa dirancang sedemikian rupa. Selain itu teknologi pembuatan film juga berubah revolusioner. Pembuatan film bukan lagi milik segelintir orang karena setiap orang bisa membuat film hanya dengan handycam dan komputer.

Dahulu pembuatan film di Indonesia harus melalui proses laboratorium di HongKong atau di Taiwan sehingga terkesan rumit dan tidak sembarang orang bisa (exclusive). Kemudian pemerintah lewat Badan Sensor Film dan Departemen Penerangan menjadi penjaga moral kebudayaan bangsa dengan menyatakan film berstandar nasional saja yang layak ditonton masyarakat Indonesia. Sungguh, luar biasa akibatnya. Pemutaran film-film seperti “Pengkhianatan G30-S/PKI”, “Janur Kuning”, “Serangan Fajar” dan “Enam Jam di Jogja” menjadi tontonan wajib para pelajar seluruh Indonesia pada bulan-bulan tertentu.

Kembali pada potensi pasar bioskop Indonesia sekarang. Momentum kebangkitan film Indonesia di awal tahun 2000-an dirasakan kuat dengan munculnya sineas-sineas muda lewat film-film seperti: “Ada apa dengan cinta”, “Heart”, “Pocong”, “Mengejar mas-mas” dan masih banyak lainnya. Penayangan film dahulu hanya monopoli cineplex 21 milik Sudwikatmono (adik mantan presiden Soeharto), sekarang siapa saja bisa berbisnis di penayangan film bioskop. Blitzmegaplex merupakan satu bisnis entitas yang mencoba meraih untung lewat bisnis penayangan film bioskop.

Data yang dihimpun lewat berbagai sumber salah satunya Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia (GPBI) didapatkan bahwa : total gedung bioskop di Indonesia per 2007 sejumlah 123 lokasi dengan 485 bentangan layar. Jumlah gedung bioskop di Jabodetabek adalah 57 lokasi dengan 240 bentangan layar. Cineplex 21 menguasai 81 lokasi dengan 349 bentangan layar di seluruh Indonesia. Ekspansi pemain bisnis ini diarahkan ke pusat-pusat perbelanjaan seperti Cineplex 21 yang berencana membuka sineplek 11 layar di Mega Bekasi dengan sebuah layar berkapasitas 517 kursi. Sedangkan Blitzmegaplex berencana ekspansi ke Ciputra mal di Surabaya, Medan, Makasar dan Kelapa Gading di Jakarta.

Nilai bisnis penayangan film di bioskop per tahun 2007 dapat diestimasikan dengan asumsi perhitungan sebagai berikut: harga tiket rata-rata adalah Rp. 40.000,- dengan jumlah penonton (load factor) rata-rata per jam tayang adalah 50 orang, kemudian dalam sehari rata-rata 4 kali tayang, kemudian dalam satu gedung bioskop rata-rata terdapat 4 layar sehingga pendapatan sehari diperkirakan Rp. 32.000.000,- per hari, sehingga omzet per bulan bisa mencapai Rp. 960.000.000,- atau dalam setahun satu lokasi gedung bioskop bisa menangguk omzet sebesar Rp. 11.520.000.000,- Untuk seluruh Indonesia yang memiliki 123 lokasi gedung bioskop maka total nilai bisnis penayangan film di bioskop per tahunnya Rp. 1.416.960.000.000,- (1,4 triliun rupiah!).

Di Amerika Serikat terdapat Hollywood, lalu di India dikenal Bollywood, jika di Indonesia industri film kira-kira dikenal sebagai apa, ya? Apapun namanya tetap harus diupayakan agar industri ini tidak mati untuk kedua kalinya terlebih saat ini tengah marak gerakan pembaruan yang dipelopori Masyarakat Film Indonesia (MFI) dengan motor sineas-sineas muda. Banyaknya aktivitas insan film Indonesia di berbagai kesempatan membuat dinamika industri ini semakin menarik dan bersemangat. FFI (Festival Film Indonesia) tidak lagi menjadi ajang seni film tanpa saingan seperti era orde baru yang sarat politik karena banyak sudah muncul berbagai festival film seperti JiFFest (Jakarta International Film Festival), FFB (Festival Film Bandung), FFD (Festival Film Dokumenter), Jogja-NETPAC Asian Film Festival, Festival Film Korea, Festival Film Asia Afrika dan lain-lainnya.

Industri penayangan film di bioskop masih memiliki daya tarik untuk para pebisnis melakukan investasi dan mendapatkan hasil yang tidak kalah nikmatnya dibanding industri-industri lainnya.
tabik,
yak