Superkaya
Distribusi kemakmuran (wealth distribution) di dunia ini tidak pernah akan merata namun mengikuti sebuah kurva yaitu kurva Lorenz (L-Curve). Melalui kurva tersebut diperlihatkan bahwa sepertiga kemakmuran hanya dinikmati 10 persen populasi, kemudian sepertiga kemakmuran lainnya dinikmati oleh 30 persen populasi dan sepertiga kemakmuran terakhir dinikmati oleh 60 persen populasi penduduk. Hal ini juga dapat mudah dibuktikan dengan melihat sedikitnya orang yang dikategorikan makmur atau kaya di lingkungan kita.
Dari 10 persen populasi orang yang dikategorikan kaya, masih dapat dipilah lagi sekelompok orang yang berada di puncak grup ini. Jumlah orang di kategori ini juga amat sangat sedikit karena masih dalam bilangan ratusan. Kelompok orang inilah yang disebut crème de la crème atau top of the top atau superkaya. Jika dinilai dari jumlah aset atau kekayaan yang dikuasai orang-orang dalam kelompok ini paling sedikit bernilai 100 juta US Dollar.
Kompas terbitan Selasa, 31 Juli 2007 yang mengutip hasil kajian majalah Globe Asia pimpinan Rizal Ramli, mantan menteri keuangan Republik Indonesia, menyebutkan ada 150 orang Indonesia yang memiliki kemakmuran (wealth) minimal 1 triliun rupiah (120 juta US Dollar). Budi Hartono, pemilik perusahaan rokok Djarum dari Kudus dinobatkan menjadi yang teratas dalam daftar 150 orang superkaya di Indonesia dengan nilai kemakmurannya sebesar 37.8 triliun rupiah (4.2 miliar US Dollar). Rachman Halim dari Gudang Garam, Kediri berada di urutan kedua dengan nilai kemakmuran sebesar 31.5 triliun rupiah (3.5 miliar US Dollar). Eka Tjipta Widjaja dengan grup Sinar Mas di urutan ketiga dengan nilai kemakmuran sebesar 27.9 triliun rupiah (3 miliar US Dollar). Sudono Salim yang pernah disebut-sebut orang Indonesia paling kaya berada di urutan keempat dengan nilai sebesar 25.2 triliun rupiah (2.7 miliar US Dollar). Di urutan lima ada Putera Sampoerna yang menjadi berita besar karena menjual Sampoerna Grup ke Philip Morris dengan nilai kemakmuran sebesar 19.8 triliun rupiah (2.1 miliar US Dollar).
Di luar lima besar tercatat nama-nama berikut secara berurutan hingga sepuluh besar (Sukanto Tanoto – 11.7 triliun rupiah, Eddy William Katuari – 9.9 triliun rupiah, Aburizal Bakrie – 9.5 triliun rupiah, Arifin Panigoro – 8.1 triliun rupiah dan Hary Tanoesoedibjo – 7.3 triliun rupiah).
Apa tujuan penguasaan kemakmuran yang demikian besar? Apakah kekuasaan (power), atau kenikmatan hidup ataukah pemenuhan kebutuhan diri (ego), atau juga kepedulian terhadap orang lain? Satu hal yang pasti yaitu mereka dikatakan dapat melakukan apa saja sekeinginannya.
Penggunaan kemakmuran yang demikian besar sangat dipengaruhi oleh nilai hidup (life value) masing-masing orang. Nilai hidup dibentuk oleh pengalaman hidup dan pandangan hidup (baca: ajaran spiritual) setiap orang tersebut.
Apabila mereka yang tergolong superkaya itu menyadari bahwa sebanyak-banyaknya kemakmuran yang dikuasainya tidak akan berlanjut hingga kekal maka hanya kematian yang menjadi batasan penguasaan kemakmuran itu. Sebelum mati maka hal seperti apakah yang diinginkan orang-orang tersebut dengan menggunakan kemakmuran yang demikian besar? Ingin seperti apa sejarah akan mencatat mereka dalam jejak langkah hidupnya? Hal ini mendorong munculnya gerakan filantropis di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Saat inipun filantropis diarahkan bukan saja dilakukan secara individu tetapi juga oleh institusi dengan nama tanggung jawab sosial korporat (Corporate Social Responsibility).
Bidang pendidikan dan kesehatan umumnya menjadi sasaran gerakan filantropis dan CSR (Corporate Social Responsibility). Eka Tjipta Foundation dan Sampoerna Foundation menjadi contoh gerakan filantropis atau CSR di bidang pendidikan. Kemudian Mochtar Ryadi dengan Rumah Sakit Siloam di Karawaci dan rencana pembangunan Hope Cancer Center di Jakarta menjadi contoh gerakan filantropis di bidang kesehatan.
Dari 10 persen populasi orang yang dikategorikan kaya, masih dapat dipilah lagi sekelompok orang yang berada di puncak grup ini. Jumlah orang di kategori ini juga amat sangat sedikit karena masih dalam bilangan ratusan. Kelompok orang inilah yang disebut crème de la crème atau top of the top atau superkaya. Jika dinilai dari jumlah aset atau kekayaan yang dikuasai orang-orang dalam kelompok ini paling sedikit bernilai 100 juta US Dollar.
Kompas terbitan Selasa, 31 Juli 2007 yang mengutip hasil kajian majalah Globe Asia pimpinan Rizal Ramli, mantan menteri keuangan Republik Indonesia, menyebutkan ada 150 orang Indonesia yang memiliki kemakmuran (wealth) minimal 1 triliun rupiah (120 juta US Dollar). Budi Hartono, pemilik perusahaan rokok Djarum dari Kudus dinobatkan menjadi yang teratas dalam daftar 150 orang superkaya di Indonesia dengan nilai kemakmurannya sebesar 37.8 triliun rupiah (4.2 miliar US Dollar). Rachman Halim dari Gudang Garam, Kediri berada di urutan kedua dengan nilai kemakmuran sebesar 31.5 triliun rupiah (3.5 miliar US Dollar). Eka Tjipta Widjaja dengan grup Sinar Mas di urutan ketiga dengan nilai kemakmuran sebesar 27.9 triliun rupiah (3 miliar US Dollar). Sudono Salim yang pernah disebut-sebut orang Indonesia paling kaya berada di urutan keempat dengan nilai sebesar 25.2 triliun rupiah (2.7 miliar US Dollar). Di urutan lima ada Putera Sampoerna yang menjadi berita besar karena menjual Sampoerna Grup ke Philip Morris dengan nilai kemakmuran sebesar 19.8 triliun rupiah (2.1 miliar US Dollar).
Di luar lima besar tercatat nama-nama berikut secara berurutan hingga sepuluh besar (Sukanto Tanoto – 11.7 triliun rupiah, Eddy William Katuari – 9.9 triliun rupiah, Aburizal Bakrie – 9.5 triliun rupiah, Arifin Panigoro – 8.1 triliun rupiah dan Hary Tanoesoedibjo – 7.3 triliun rupiah).
Apa tujuan penguasaan kemakmuran yang demikian besar? Apakah kekuasaan (power), atau kenikmatan hidup ataukah pemenuhan kebutuhan diri (ego), atau juga kepedulian terhadap orang lain? Satu hal yang pasti yaitu mereka dikatakan dapat melakukan apa saja sekeinginannya.
Penggunaan kemakmuran yang demikian besar sangat dipengaruhi oleh nilai hidup (life value) masing-masing orang. Nilai hidup dibentuk oleh pengalaman hidup dan pandangan hidup (baca: ajaran spiritual) setiap orang tersebut.
Apabila mereka yang tergolong superkaya itu menyadari bahwa sebanyak-banyaknya kemakmuran yang dikuasainya tidak akan berlanjut hingga kekal maka hanya kematian yang menjadi batasan penguasaan kemakmuran itu. Sebelum mati maka hal seperti apakah yang diinginkan orang-orang tersebut dengan menggunakan kemakmuran yang demikian besar? Ingin seperti apa sejarah akan mencatat mereka dalam jejak langkah hidupnya? Hal ini mendorong munculnya gerakan filantropis di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Saat inipun filantropis diarahkan bukan saja dilakukan secara individu tetapi juga oleh institusi dengan nama tanggung jawab sosial korporat (Corporate Social Responsibility).
Bidang pendidikan dan kesehatan umumnya menjadi sasaran gerakan filantropis dan CSR (Corporate Social Responsibility). Eka Tjipta Foundation dan Sampoerna Foundation menjadi contoh gerakan filantropis atau CSR di bidang pendidikan. Kemudian Mochtar Ryadi dengan Rumah Sakit Siloam di Karawaci dan rencana pembangunan Hope Cancer Center di Jakarta menjadi contoh gerakan filantropis di bidang kesehatan.
Menjadi kaya adalah tidak berdosa. Cara menggunakan dan menikmati kekayaanlah yang dapat membuat dosa. Semakin banyak diberkati Tuhan maka semakin besar tanggungjawab pengelolaan terhadap berkat tersebut.
tabik,
yak