Antara menulis dan memasak
Menulis itu seperti memasak. Dua kegiatan yang memiliki banyak persamaan dan sangat dekat dengan kehidupan manusia. Memahami kegiatan menulis akan lebih mudah bila disejajarkan dengan kegiatan memasak.
Penulis diibaratkan jurumasak yang meramu bumbu dan mengolah berbagai bahan sehingga terhidang makanan lezat siap santap. Keahlian jurumasak tidaklah datang serta merta tetapi melalui banyak praktek memasak sehingga akhirnya menguasai seni memasak. Hal sama juga berlaku pada seorang penulis yang harus banyak berlatih menulis berbagai topik dengan berbekal kata untuk merangkai kalimat sehingga dapat menyusun tulisan yang dinikmati banyak orang.
Setiap masakan memiliki penggemar sendiri demikian juga tulisan. Penulis novel seperti Sidney Sheldon, John Grisham, atau Paulo Coelho memiliki sidang pembaca masing-masing yang mengenal betul gaya penuturan tulisan mereka. Para penulis seakan meramu makanan untuk berbagai kelompok pembaca dengan kebutuhannya masing-masing. Tulisan menjadi makanan rohani pembacanya, sehingga rasa haus dan lapar akan gagasan, semangat, emosi, pencerahan pikiran atau rasa ingin tahu misalnya akan terpenuhi bahkan kadang sampai puas.
Masakan adalah makanan jasmani bagi penikmatnya yang menyehatkan, menyegarkan dan mengenyangkan bahkan sering sampai memuaskan saraf-saraf pencecap di otak. Kerenyahan keripik tempe umpamanya akan begitu terpatri dalam benak penggemarnya, sedangkan keharuman opor ayam akan bersarang dalam-dalam di hidung penikmatnya. Hal sama berlaku bagi para pembaca tulisan terhadap gelaran kata tulisan Gus Dur yang jenaka atau tatanan kalimat Gunawan Mohamad yang membuat kening berkerut berusaha menangkap maknanya.
Selera penggemar sebuah tulisan tidak bisa dipertentangkan satu dengan yang lain namun sebagaimana penikmat masakan yang memiliki beragam selera, mereka bersepakat bahwa masakan yang enak ataupun tulisan yang baik memiliki standar. Mengacu pada standar itulah maka tidak sembarang jurumasak atau penulis mengolah masakan atau tulisan untuk disajikan kepada para penggemarnya.
Standar masakan disusun oleh komunitas jurumasak yang sudah diakui luas kompetensinya di masyarakat. Hal ini bisa disaling periksa misalnya lewat kompetisi memasak atau dapur-dapur resto publik sehingga kualitas berjenis masakan tetap memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi para penikmatnya. Hal serupa juga berlaku pada tulisan, dengan adanya komunitas penulis ilmiah yang memiliki standar tersendiri menjaga kualitas tulisan ilmiah, atau komunitas penulis populer, komunitas jurnalis dan masih banyak lagi komunitas penulis-penulis yang menjadi pengendali tulisan agar bernilaiguna bagi para pembacanya.
Faktor budaya juga menjadi pengaruh besar terhadap tulisan yang dihasilkan sebagaimana masakan yang sudah lebih mudah dibedakan dari asal kultur masakan itu seperti Chinese food, Italian food atau Japanese food. Tulisan yang berasal dari latar budaya barat akan terasa berbeda dengan tulisan yang dibuat oleh penulis berlatar budaya timur. Hal ini disebabkan nilai-nilai yang dianut penulis yang hidup di masyarakat barat memang berbeda dengan di timur dan ini nampak nyata dalam tulisan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk dengan buah karya DH Lawrence yaitu Lady Chatterley’s Lover.
Para kritikus tulisan sudah jamak di dunia literatur sebagaimana para connoisseur dalam dunia makanan minuman. Mereka diperlukan agar para pembaca atau penikmat masakan dapat memilih serta memutuskan tulisan atau masakan mana yang akan dinikmati. Di Indonesia, ada Bondan Winarno yang sangat populer dengan slogan Mak Nyuss untuk masakan yang lezat melalui acara di salah satu stasiun televisi nasional maka kira-kiranya untuk tulisan, siapakah orang yang mengambil peran serupa sehingga semakin banyak pembaca Indonesia memahami tulisan serta dapat memilih maupun memutuskan hendak membaca tulisan yang sesuai kebutuhannya. Nampaknya masih ada tempat bagi ”Bondan Winarno” di dunia literatur Indonesia yang menyajikan ulasan terhadap berbagai tulisan dengan gaya ramah pengguna (friendly user) apalagi ditayangkan di televisi.
Tabik,
yak
Penulis diibaratkan jurumasak yang meramu bumbu dan mengolah berbagai bahan sehingga terhidang makanan lezat siap santap. Keahlian jurumasak tidaklah datang serta merta tetapi melalui banyak praktek memasak sehingga akhirnya menguasai seni memasak. Hal sama juga berlaku pada seorang penulis yang harus banyak berlatih menulis berbagai topik dengan berbekal kata untuk merangkai kalimat sehingga dapat menyusun tulisan yang dinikmati banyak orang.
Setiap masakan memiliki penggemar sendiri demikian juga tulisan. Penulis novel seperti Sidney Sheldon, John Grisham, atau Paulo Coelho memiliki sidang pembaca masing-masing yang mengenal betul gaya penuturan tulisan mereka. Para penulis seakan meramu makanan untuk berbagai kelompok pembaca dengan kebutuhannya masing-masing. Tulisan menjadi makanan rohani pembacanya, sehingga rasa haus dan lapar akan gagasan, semangat, emosi, pencerahan pikiran atau rasa ingin tahu misalnya akan terpenuhi bahkan kadang sampai puas.
Masakan adalah makanan jasmani bagi penikmatnya yang menyehatkan, menyegarkan dan mengenyangkan bahkan sering sampai memuaskan saraf-saraf pencecap di otak. Kerenyahan keripik tempe umpamanya akan begitu terpatri dalam benak penggemarnya, sedangkan keharuman opor ayam akan bersarang dalam-dalam di hidung penikmatnya. Hal sama berlaku bagi para pembaca tulisan terhadap gelaran kata tulisan Gus Dur yang jenaka atau tatanan kalimat Gunawan Mohamad yang membuat kening berkerut berusaha menangkap maknanya.
Selera penggemar sebuah tulisan tidak bisa dipertentangkan satu dengan yang lain namun sebagaimana penikmat masakan yang memiliki beragam selera, mereka bersepakat bahwa masakan yang enak ataupun tulisan yang baik memiliki standar. Mengacu pada standar itulah maka tidak sembarang jurumasak atau penulis mengolah masakan atau tulisan untuk disajikan kepada para penggemarnya.
Standar masakan disusun oleh komunitas jurumasak yang sudah diakui luas kompetensinya di masyarakat. Hal ini bisa disaling periksa misalnya lewat kompetisi memasak atau dapur-dapur resto publik sehingga kualitas berjenis masakan tetap memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi para penikmatnya. Hal serupa juga berlaku pada tulisan, dengan adanya komunitas penulis ilmiah yang memiliki standar tersendiri menjaga kualitas tulisan ilmiah, atau komunitas penulis populer, komunitas jurnalis dan masih banyak lagi komunitas penulis-penulis yang menjadi pengendali tulisan agar bernilaiguna bagi para pembacanya.
Faktor budaya juga menjadi pengaruh besar terhadap tulisan yang dihasilkan sebagaimana masakan yang sudah lebih mudah dibedakan dari asal kultur masakan itu seperti Chinese food, Italian food atau Japanese food. Tulisan yang berasal dari latar budaya barat akan terasa berbeda dengan tulisan yang dibuat oleh penulis berlatar budaya timur. Hal ini disebabkan nilai-nilai yang dianut penulis yang hidup di masyarakat barat memang berbeda dengan di timur dan ini nampak nyata dalam tulisan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk dengan buah karya DH Lawrence yaitu Lady Chatterley’s Lover.
Para kritikus tulisan sudah jamak di dunia literatur sebagaimana para connoisseur dalam dunia makanan minuman. Mereka diperlukan agar para pembaca atau penikmat masakan dapat memilih serta memutuskan tulisan atau masakan mana yang akan dinikmati. Di Indonesia, ada Bondan Winarno yang sangat populer dengan slogan Mak Nyuss untuk masakan yang lezat melalui acara di salah satu stasiun televisi nasional maka kira-kiranya untuk tulisan, siapakah orang yang mengambil peran serupa sehingga semakin banyak pembaca Indonesia memahami tulisan serta dapat memilih maupun memutuskan hendak membaca tulisan yang sesuai kebutuhannya. Nampaknya masih ada tempat bagi ”Bondan Winarno” di dunia literatur Indonesia yang menyajikan ulasan terhadap berbagai tulisan dengan gaya ramah pengguna (friendly user) apalagi ditayangkan di televisi.
Tabik,
yak
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home