Paradigma baru pemasaran jasa
Sudah bertahun-tahun pertanyaan apa perbedaan antara barang dan jasa selalu dijawab dengan menyebutkan empat karakteristik unik milik jasa yang tidak dipunyai oleh barang. Empat karakteristik tersebut adalah Intangibility (tidak berwujud), Heterogeneity (tidak standar), Inseparability (tidak dapat dipisah proses produksi dan konsumsi) serta Perishability (tidak dapat disimpan). Semua hal tersebut mudah dijumpai dalam berbagai buku teks manajemen pemasaran yang ditulis para ahli manajemen sehingga kini kita menerima dan mengamininya sebagai kebenaran perbedaan antara barang dan jasa.
Semua hal di atas tidak lagi sama (it is never be the same anymore) semenjak Lovelock dan Gummenson (2004) menulis sebuah artikel yang mengkritisi empat karakteristik pembeda antara barang dan jasa. Telah terjadi guncangan hebat dalam paradigma ilmu manajemen pemasaran jasa (service marketing management). Perkembangan jaman telah menyebabkan perlunya perbaikan paradigma pemasaran jasa agar tetap relevan dengan era kehidupan manusia saat ini.
Menurut Lovelock dan Gummenson, empat karakteristik unik yang selama ini disebut hanya dimiliki jasa dan tidak ada pada barang ternyata sudah tidak demikian kenyataannya. Karakter intangibility (tidak berwujud) berimplikasi bahwa jasa karena tidak berwujud maka berbeda dengan barang tidak dapat dicoba dulu sebelum dibeli. Hal ini sekarang ternyata juga dimiliki beberapa barang dengan pertumbuhan bisnis pemesanan via internet atau telepon. Banyak konsumen tidak dapat lagi memegang-megang atau mencoba barang sebelum memutuskan untuk membeli sehingga karakter intangibility (tidak berwujud) muncul di situasi seperti ini. Sebaliknya jasa penginapan seperti hotel ternyata memiliki karakter tangibility (berwujud) saat konsumen hendak membeli jasa penginapan bisa terlebih dahulu melihat kamar sebelum memutuskan untuk membelinya.
Karakter heterogeneity (tidak standar) juga mengalami hal sama saat banyak barang manufaktur mengalami penolakan (reject) karena tidak memenuhi standar dengan berbagai sebab padahal dengan adanya penggunaan mesin atau robot diharapkan selalu menghasilkan barang standar. Sebaliknya jasa layanan perbankan yang menggunakan mesin seperti ATM menghasilkan jasa berstandar sehingga menekan heterogeneity yang umum ditemukan dalam jasa.
Karakter inseparability (proses produksi dan konsumsi yang bersamaan) tidak lagi selalu dimiliki jasa karena sekarang ada jasa yang dapat dipisahkan antara proses produksi dan konsumsinya. Jasa laundry atau kurir merupakan contoh bahwa proses produksi dan konsumsi jasa dapat dipisahkan sehingga karakter inseparability tidak lagi selalu valid untuk jasa.
Karakter perishability (tidak dapat disimpan) merujuk pada tidak adanya penyimpanan (inventory) untuk jasa namun sekarang ini ada jasa hiburan (entertainment) misalnya musik dan film yang dapat disimpan dalam berbagai media penyimpanan (DVDs atau tape). Dengan demikian karakter perishability milik jasa tidak selalu terdapat pada setiap jasa.
Konsekuensi dari tulisan itu Lovelock dan Gummenson menyampaikan tiga usulan pilihan terhadap perkembangan ilmu manajemen pemasaran jasa. Pertama, menyatukan kembali ilmu manajemen pemasaran jasa kepada induk ilmunya yaitu ilmu manajemen pemasaran (marketing management) karena sudah tidak ada perbedaan karakter yang dominan antara barang dan jasa. Kedua, tetap mempertahankan ilmu manajemen pemasaran jasa dengan fokus pada sub bidang tertentu seperti: jasa berbasis informasi (information-based services), jasa elektronik (e-services), jasa yang dapat dipisahkan (separable services) dan jasa yang melibatkan aksi berwujud (tangible actions involvement services). Ketiga, menemukan paradigma baru yang bisa membedakan jasa dari barang.
Untuk usulan pertama, dapat dipandang bahwa jasa ternyata telah menyebar ke seluruh sendi kehidupan manusia bahkan seperti pernah dikatakan oleh Theodore Levitt (1972) bahwa setiap orang ada dalam jasa sehingga pentingnya jasa diakui semua pihak dalam memasarkan barang dengan memperhatikan faktor layanan terhadap konsumennya. Dalam perkembangan ilmu manajemen pemasaran selanjutnya faktor jasa selalu menjadi kesatuan produk dalam setiap perumusan strategi pemasaran di berbagai industri.
Usulan kedua, pendekatan kategorial terhadap jasa akan lebih menguntungkan untuk membumikan ilmu manajemen pemasaran jasa. Namun demikian usaha membumikan ilmu tersebut melibatkan banyak studi kasus dan observasi sejumlah besar jasa dan kemudian melihat secara induktif pada hasil tanpa menggunakan kacamata konsep dan prinsip-prinsip keilmuan yang dipercayai saat ini.
Usulan ketiga, mencoba menawarkan karakteristik yang mungkin hanya dimiliki oleh jasa yaitu nonownership (nirkepemilikan). Pada saat transaksi jual beli barang maka terjadi perpindahan kepemilikan (ownership) atas barang tersebut. Namun saat transaksi jual beli jasa tidak ada perpindahan kepemilikan atas sumber penghasil jasa seperti jasa penerbangan, yaitu penumpang pesawat setelah membeli jasa penerbangan tidak memiliki pesawat yang menerbangkannya. Dengan kerangka kerja nirkepemilikan (nonownership) maka Lovelock dan Gummeson membuat sejumlah kategori jasa sebagai berikut:
a. Jasa penyewaan barang
b. Jasa penyewaan tempat dan ruang
c. Jasa penyewaan tenaga kerja dan keahlian
d. Jasa penggunaan dan akses fasilitas fisik
e. Jasa penggunaan dan akses jaringan
Semua hal di atas tidak lagi sama (it is never be the same anymore) semenjak Lovelock dan Gummenson (2004) menulis sebuah artikel yang mengkritisi empat karakteristik pembeda antara barang dan jasa. Telah terjadi guncangan hebat dalam paradigma ilmu manajemen pemasaran jasa (service marketing management). Perkembangan jaman telah menyebabkan perlunya perbaikan paradigma pemasaran jasa agar tetap relevan dengan era kehidupan manusia saat ini.
Menurut Lovelock dan Gummenson, empat karakteristik unik yang selama ini disebut hanya dimiliki jasa dan tidak ada pada barang ternyata sudah tidak demikian kenyataannya. Karakter intangibility (tidak berwujud) berimplikasi bahwa jasa karena tidak berwujud maka berbeda dengan barang tidak dapat dicoba dulu sebelum dibeli. Hal ini sekarang ternyata juga dimiliki beberapa barang dengan pertumbuhan bisnis pemesanan via internet atau telepon. Banyak konsumen tidak dapat lagi memegang-megang atau mencoba barang sebelum memutuskan untuk membeli sehingga karakter intangibility (tidak berwujud) muncul di situasi seperti ini. Sebaliknya jasa penginapan seperti hotel ternyata memiliki karakter tangibility (berwujud) saat konsumen hendak membeli jasa penginapan bisa terlebih dahulu melihat kamar sebelum memutuskan untuk membelinya.
Karakter heterogeneity (tidak standar) juga mengalami hal sama saat banyak barang manufaktur mengalami penolakan (reject) karena tidak memenuhi standar dengan berbagai sebab padahal dengan adanya penggunaan mesin atau robot diharapkan selalu menghasilkan barang standar. Sebaliknya jasa layanan perbankan yang menggunakan mesin seperti ATM menghasilkan jasa berstandar sehingga menekan heterogeneity yang umum ditemukan dalam jasa.
Karakter inseparability (proses produksi dan konsumsi yang bersamaan) tidak lagi selalu dimiliki jasa karena sekarang ada jasa yang dapat dipisahkan antara proses produksi dan konsumsinya. Jasa laundry atau kurir merupakan contoh bahwa proses produksi dan konsumsi jasa dapat dipisahkan sehingga karakter inseparability tidak lagi selalu valid untuk jasa.
Karakter perishability (tidak dapat disimpan) merujuk pada tidak adanya penyimpanan (inventory) untuk jasa namun sekarang ini ada jasa hiburan (entertainment) misalnya musik dan film yang dapat disimpan dalam berbagai media penyimpanan (DVDs atau tape). Dengan demikian karakter perishability milik jasa tidak selalu terdapat pada setiap jasa.
Konsekuensi dari tulisan itu Lovelock dan Gummenson menyampaikan tiga usulan pilihan terhadap perkembangan ilmu manajemen pemasaran jasa. Pertama, menyatukan kembali ilmu manajemen pemasaran jasa kepada induk ilmunya yaitu ilmu manajemen pemasaran (marketing management) karena sudah tidak ada perbedaan karakter yang dominan antara barang dan jasa. Kedua, tetap mempertahankan ilmu manajemen pemasaran jasa dengan fokus pada sub bidang tertentu seperti: jasa berbasis informasi (information-based services), jasa elektronik (e-services), jasa yang dapat dipisahkan (separable services) dan jasa yang melibatkan aksi berwujud (tangible actions involvement services). Ketiga, menemukan paradigma baru yang bisa membedakan jasa dari barang.
Untuk usulan pertama, dapat dipandang bahwa jasa ternyata telah menyebar ke seluruh sendi kehidupan manusia bahkan seperti pernah dikatakan oleh Theodore Levitt (1972) bahwa setiap orang ada dalam jasa sehingga pentingnya jasa diakui semua pihak dalam memasarkan barang dengan memperhatikan faktor layanan terhadap konsumennya. Dalam perkembangan ilmu manajemen pemasaran selanjutnya faktor jasa selalu menjadi kesatuan produk dalam setiap perumusan strategi pemasaran di berbagai industri.
Usulan kedua, pendekatan kategorial terhadap jasa akan lebih menguntungkan untuk membumikan ilmu manajemen pemasaran jasa. Namun demikian usaha membumikan ilmu tersebut melibatkan banyak studi kasus dan observasi sejumlah besar jasa dan kemudian melihat secara induktif pada hasil tanpa menggunakan kacamata konsep dan prinsip-prinsip keilmuan yang dipercayai saat ini.
Usulan ketiga, mencoba menawarkan karakteristik yang mungkin hanya dimiliki oleh jasa yaitu nonownership (nirkepemilikan). Pada saat transaksi jual beli barang maka terjadi perpindahan kepemilikan (ownership) atas barang tersebut. Namun saat transaksi jual beli jasa tidak ada perpindahan kepemilikan atas sumber penghasil jasa seperti jasa penerbangan, yaitu penumpang pesawat setelah membeli jasa penerbangan tidak memiliki pesawat yang menerbangkannya. Dengan kerangka kerja nirkepemilikan (nonownership) maka Lovelock dan Gummeson membuat sejumlah kategori jasa sebagai berikut:
a. Jasa penyewaan barang
b. Jasa penyewaan tempat dan ruang
c. Jasa penyewaan tenaga kerja dan keahlian
d. Jasa penggunaan dan akses fasilitas fisik
e. Jasa penggunaan dan akses jaringan
Implikasi dari karakter nirkepemilikan jasa antara lain bahwa manufaktur barang dapat membentuk basis untuk sebuah jasa, kemudian jasa dapat menjadi bagian sebuah penjualan retail untuk suatu entity fasilitas fisik yang besar, selanjutnya tenaga kerja dan keahlian dipandang sebagai sumberdaya terbarukan dalam jasa bukan bersifat habis pakai (used-up), waktu akan memainkan peran sentral di hampir setiap jasa, akan ada pembaruan dalam penentuan harga jasa, serta jasa akan membuka kesempatan menikmati sumberdaya bersama-sama (sharing resources).
Paradigma sewa atau akses (rental/access paradigm) untuk jasa dalam hal kepemilikan yang diusulkan Lovelock dan Gummeson menjadi hal yang akan terus dipertajam dan dikembangkan dalam ilmu pemasaran jasa sehingga dapat dikukuhkan sebagai pembeda antara jasa dan barang. Ketika barang disewakan maka dia adalah bagian dari jasa bukan lagi barang yang diperjualbelikan dengan terjadinya perpindahan kepemilikan atas barang tersebut.
Tabik,
yak
Sumber tulisan:
Lovelock, Christopher H. and Evert Gummeson (2004), “Whiter Services Marketing? In Search of a new Paradigm and Fresh Perspective,”Journal of Service Research, 7 (August), 20-41.
Levitt, Theodore (1972), “Production Line Approach to Service,”Harvard Business Review, 50 (September-October), 41-52.
Paradigma sewa atau akses (rental/access paradigm) untuk jasa dalam hal kepemilikan yang diusulkan Lovelock dan Gummeson menjadi hal yang akan terus dipertajam dan dikembangkan dalam ilmu pemasaran jasa sehingga dapat dikukuhkan sebagai pembeda antara jasa dan barang. Ketika barang disewakan maka dia adalah bagian dari jasa bukan lagi barang yang diperjualbelikan dengan terjadinya perpindahan kepemilikan atas barang tersebut.
Tabik,
yak
Sumber tulisan:
Lovelock, Christopher H. and Evert Gummeson (2004), “Whiter Services Marketing? In Search of a new Paradigm and Fresh Perspective,”Journal of Service Research, 7 (August), 20-41.
Levitt, Theodore (1972), “Production Line Approach to Service,”Harvard Business Review, 50 (September-October), 41-52.